JAKARTA — Pemerintah menjamin jumlah cadangan komoditas mineral di Indonesia masih mencukupi kebutuhan bahan baku industri pengolahan dan pemurnian atau smelter dalam negeri.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono mengatakan, kecukupan cadangan tersebut untuk 18 smelter yang telah beroperasi maupun yang masih dalam rencana. Artinya, jika tidak ada tambahan proyek smelter baru lagi, cadangan mineral dipastikan aman.
"Sejauh ini, cadangan untuk komoditas tembaga, bauksit, nikel, besi, timbal, dan seng dapat memenuhi prognosa kebutuhan bahan baku untuk industri pemurnian dalam negeri," katanya di Jakarta, Kamis (10/11).
Kelima jenis mineral itu selama ini masih boleh diekspor dalam bentuk konsentrat seperti yang dilakukan oleh PT Freeport Indonesia dengan mengapalkan konsentrat tembaga.
Keyakinan Kementerian ESDM tersebut secara tidak langsung menyiratkan bahwa keenam komoditas mineral itu masih cukup untuk memenuhi kebutuhan smelter di dalam negeri kendati keran ekspor dibuka.
Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, Kementerian ESDM, ketahanan cadangan tembaga sesuai dengan kapasitas smelter mencapai 29 tahun atau hingga 2045. Untuk nikel, sesuai dengan kapastias smelter, cadangan bisa bertahan hingga 116 tahun yaitu hingga 2132.
Sementara itu, cadangan komoditas besi diperkirakan bertahan hingga 130 tahun atau sampai 2136. Komoditas bauksit cadangannya untuk smelter dapat bertahan sampai 535 tahun atau hingga 2556.
Adapun cadangan timbal dan seng dapat bertahan hingga 105 tahun atau sampai 2126.
Meskipun cadangannya tinggi, Bambang menjelaskan, belum tentu jumlah smelter bisa langsung diperbanyak. Menurutnya, perlu ada perhitungan terkait berapa besar kebutuhan industri hilir akan mineral logam hasil pemurnian.
"Permasalahannya kan semua produk itu diekspor kembali. Ini PR kita bersama. Jadi, perlu dihitung berapa smelter yang kita butuhkan," jelasnya.
Bambang menilai, perlu ada kebijakan yang terintegrasi dalam perumusan regulasi mengenai peningkatan nilai tambah ke depannya. Perlu juga disusun peta jalan (roadmap) peningkatan nilai tambah untuk industri berbasis sumber daya mineral dari hulu sampai hilir.
Terkait dengan arah penghiliran pertambangan mineral, kementerian terkait perlu terus berkomunikasi dengan baik.
KERJA SAMA
Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (Apemindo) Ladjiman Damanik mengatakan, Kementerian ESDM dan Kementerian Perindustrian harus bekerja sama terkait dengan kebutuhan bahan baku maupun penyerapan produk akhir smelter.
"Perlu ada link and match antara Perindustrian dan ESDM. Industri harus tanya ke ESDM terkait dengan ketersediaan cadangan bahan baku. Nanti industri hilir bertugas menyerap produknya," tuturnya kepada Bisnis.
Direktur Centre for Indonesian Resources Strategic Studies (Ciruss) Budi Santoso menilai, pemerintah pun perlu meninjau kembali kebijakan peningkatan nilai tambah terhadap mineral yang selama ini selalu dikaitkan langsung dengan tambang atau sektor hulu.
Menurutnya, apabila dikaitkan dengan industri hilir, risiko bisnis yang selama ini lebih berat ke sektor tambang bisa terpecah. Dengan begitu, proyek smelter akan lebih ekonomis.
"Smelter risiko besar, tambang risiko besar. Digabung bisa tidak ekonomis. Kalau dipaket dengan industri, risiko bisa terbayar dengan added value di industri hilirnya," katanya.
Progres smelter nikel paling maju dibandingkan dengan mineral lainnya. Dari 18 smelter yang telah beroperasi, nikel menjadi komoditas yang paling maju dengan 12 smelter, besi dan bauksit masing-masing dua smelter, serta tembaga hanya satu smelter. Sementara itu, untuk timbal dan seng, belum ada smelter yang beroperasi.