MoU Kementerian ESDM dan Freeport Wajibkan Negara Bayar Rp 1,8 Triliun
Jakarta, Realitarakyat.com – Nota kesepakatan antara Kementerian ESDM dengan PT Freeport Indonesia, ada yang bertentangan dengan peraturan undang-undang.
Kabar tersebut diungkap Wakil Ketua Badan Anggaran DPR RI, Teuku Riefky Harsya saat rapat paripurna atas pembahasan RUU tentang Pertanggung Jawaban Pelaksanaan APBN tahun 2018, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (20/8/2019).
“Nota tersebut berkait dengan kesepakatan bea keluar yang bertentangan dengan tarif bea keluar, yang telah ditetapkan Kementerian Keuangan,” kata Riefky.
Riefky pun menyebutkan hal itu sesuai dengan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yakni di Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2018.
Dalam dokumen LKPP disebutkan, nota kesepakatan tersebut mengakibatkan negara harus membayar pengembalian pajak atau restitusi sebesar Rp 1,8 triliun kepada PT Freeport Indonesia.
Karena dalam nota kesepakatan yang ditandatangi oleh Dirjen Minerba Kementerian ESDM yang menjabat pada tanggal 31 Maret 2017 dengan PT FI, bahwa pengenaan tarif bea Keluar sebesar 5 persen.
“Ini bertentangan dengan PMK Nomor 13/PMK.010/2017 yang mengenakan bea tarif keluar sebesar 7,5 persen,” tulis BPK.
Untuk itulah Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea Cukai Tipe Madya Pabean (KPPBC TMP) menagih bea keluar PT FI sebesar 7,5 persen.
Hal itu sesuai dengan poin dua Surat Persetujuan Ekspor (SPE) yang diterbitkan Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri (Dirjen Daglu) bahwa PT FI telah melakukan kegiatan pembangunan fasilitas pemurnian tembaga (smelter) dengan persentase 2,431 persen.
Berdasarkan PMK Nomor 13/PMK 010/2017 apabila kemajuan pembangunan fisik smelter sampai dengan 30 persen, maka tarif Bea Keluar yang dikenakan adalah 7,5 persen.
Selama 2018, PT FI telah melakukan ekspor konsetrat sebanyak 109 sebagaimana jumlah dokumen Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB). Dari 109 aktivitas ekspor tersebut, 106nya biaya Bea Keluar yang ditanggung PT FI menjadi sebesar Rp 4,132 triliun.
Nilai penetapan tersebut tidak hanya karena koreksi tarif bea keluar menjadi sebesar 7,5 persen, namun juga koreksi atas volume berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan koreksi harga ekspor berdasarkan hasil uji laboratorium Balai Laboratorium bea dan cukai.
Total kekurangan bea keluar yang ditagih melalui 106 SPPBK tersebut adalah sebesar Rp 1, 474 triliun.
PT FI sendiri baru membayar Rp 1,146 triliun untuk 84 SPPBK sedangkan sisanya sebesar Rp 328 miliar untuk 22 SPPBK, yang terbit di akhir tahun 2018 belum dibayar.
Karena dikenakan tarif 7,5 persen, PT FI mengajukan keberatan dan banding ke Pengadilan Pajak. Sampai 25 Maret 2019 Pengadilan Pajak telah mengabulkan 20 pengajuan banding atas nama PT FI.
Dalam putusan tersebut, Majelis Hakim memutuskan menerima seluruhnya atau menerima sebagian permohonan banding PT FI. Karena bea tarif yang ditanggung PT FI adalah 5 persen sesuai Nota Kesepahaman antara Menteri ESDM atas nama Pemerintah RI dengan PT FI yang ditandatangani pada tanggal 31 Maret 2017.
Dari 20 pengajuan tersebut negara berpotensi melakukan restitusi sebesar Rp 204 miliar. Saat ini masih ada 128 pengajuan banding PT FI di di Pengadilan Pajak. Angka restitusi dari 128 pengajuan itu adalah Rp 1,616 triliun. Sehingga total potensi negara harus membayar ke PT FI adalah Rp 1,8 triliun. [riz/ipg]