Moratorium Tambang, Walhi NTT Apresiasi Gubernur Baru NTT
KUPANG-Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Eksekutif Daerah Nusa Tenggara Timur mengapresiasi kebijakan Gubernur dan Wakil gubernur NTT yang baru periode 2018-2023 yang dengan tegas akan meratorium seluruh aktifitas pertambangan minerba di bumi Nusa Cendana.
Direktur WALHI NTT, Umbu Wulang mengatakan keputusan ini patut diberikan apresisasi positif karena keberpihakan kepada keberlanjutan lingkungan. Namun ada beberapa poin penting yang harus diperhatikan dalam upaya moratorium ijin tambang.
Pertama: Keseriusan pemerintah propinsi NTT dalam melakukan moratorium ijin tambang bisa terlihat dari upaya apakah Gubernur berani untuk menghentikan upaya rencana pembangunan smelter. Karena berdasarkan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara, tambang baru bisa beroperasi bila ada smelter.
Sementara ada warisan dari periode sebelumnya tentang pembangunan smelter di Kawasan Industri Bolok (KIB), Desa Bolok oleh PT Gulf Mangan Group perusahaan mangan dari Perth, Australia Barat.
Kedua: meminta gubernur terpilih untuk membuka seluas-luasnya partisipasi publik untuk mengawasi dan ikut terlibat dalam proses masa moratorium tambang, agar proses moratorium tidak disusupi oleh kepentingan lain untuk hadirnya kembali investasi tambang yang merusak lingkungan dan mengabaikan aspek keadilan.
Wilayah NTT hingga awal tahun 2018 masih dikepung 309 ijin tambang yang tersebar di 17 Kabupaten di NTT dengan perincian sebagai berikut: Belu 84 izin, TTU 70 izin, Kabupaten Kupang 34 izin, Ende 20 izin, Manggarai 18 izin, TTS 16 izin, Rote Ndao 15 izin, Nagekeo 14 izin, Alor 12 izin, Manggarai Timur 7 izin, Ngada 5 izin, Propinsi NTT 5 izin, Sabu Raijua 2 izin, SBD 2 izin, Sumba Tengah 2 izin, Manggarai Barat 1 izin, Sumba Barat 1 izin, Sumba Timur 1 izin.
Kehadiran pertambangan ini akan berdampak pada kerusakan hutan, merampas lahan, mencemari air dan pesisir pantai, warga dikriminalisasi karena membela tanah dan airnya bahkan sampai menimbulkan korban jiwa.
NTT yang berciri khas propinsi kepulauan dengan 1192 Pulau besar dan Pulau kecil sangat riskan dilakukan pengembangan pertambangan.
Dalam UU Nomor 7 Tahun 2007 Jo UU nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menerangkan tentang pemanfaatan pulau-pulau kecil diprioritaskan untuk: konservasi, pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan, budidaya laut, pariwisata, usaha perikanan dan kelautan, juga industri perikanan secara lestari, lalu pertanian organik dan peternakan. Terlihat bahwa tidak ada pengelolaan pertambangan di pulau-pulau kecil.
Selain itu 309 izin pertambangan di NTT mengabaikan Daya Dukung Lingkungan. Berdasarkan analisis BPBD, ada 10-15 persen desa di NTT mengalami krisis air. Selanjutnya analisa krisis air oleh WALHI NTT didasarkan pada Tata Kuasa, Tata Kelola, Tata Produksi, hingga Tata Konsumsi, 70 % Kawasan di NTT mengalami krisis air.
Ada 16 Daerah Aliran Sungai (DAS) utama yang yang terancam keberlanjutannya akibat praktek perambahan di kawasan hulu. “NTT butuh pemimpin yang berani dan mampu menciptakan satu model pembangunan yang pro lingkungan dan pro rakyat. Beberapa permasalahan di NTT sampai saat ini yang diabaikan adalah kerusakan daya dukung lingkungan serta kegagalan pembangunan yang mengakibatkan NTT mengalami krisis pangan sebagai kebutuhan dasar warga,” ujarnya.
Dalam catatan Bank Indonesia (BI), NTT merupakan Pengimpor terbesar di Indonesia dari sektor konsumsi yakni sebesar 82 %, celakanya potret kerusakan lingkungan yang meluas sering diabaikan oleh pemerintah NTT.