Mundur, Komisaris Krakatau Steel Ungkap Proyek Terancam Rugi Rp 1,3 T
Jakarta - Proyek pengolahan bijih besi menjadi hot metal atau blast furnace yang telah dicanangkan sejak tahun 2011 oleh PT Krakatau Steel (Persero) Tbk terancam merugi. Pasalnya, harga pokok produksi (HPP) slag yang dihasilkan proyek blast furnace ini lebih mahal US$ 82 per ton atau setara dengan Rp 1.144.130 (kurs Rp 14.000) jika dibandingkan harga pasar.
Sehingga, jika produksinya 1,1 juta ton hot metal per tahun, maka potensi kerugian Krakatau Steel (KS) sekitar Rp 1,3 trilun per tahun.
Hal tersebut diungkapkan oleh Komisaris Independen KS Roy Edison Maningkas yang sudah menyampaikan pengunduran dirinya sebagai komisaris ke Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Pengunduran dirinya akan diproses dalam kurun waktu sebulan.
"Harga pokok produksi yang nanti dihasilkan itu lebih mahal US$ 82 per ton, which is kalau produksi 1,1 juta ton itu kita akan mengalami kerugian per tahun Rp 1,3 triliun," jelas Roy di kantor Kementerian BUMN, Jakarta, Selasa (22/7/2019).
Baca juga: Roy Maningkas Mundur dari Komisaris Krakatau Steel
Selain itu, proyek blast furnace sendiri telah molor 72 bulan dari jadwal operasi. Kemudian, bujet proyek ini juga membengkak hingga Rp 3 triliun.
"Project ini awalnya tidak sampai Rp 7 triliun, dan sekarang over-run menjadi kurang lebih Rp 10 triliun. Over-run itu bujetnya terlampaui Rp 3 triliun. Saya pikir ini bukan angka yang kecil, ini besar. Proyeknya juga sudah terlambat 72 bulan," terangnya.
Roy mengatakan, sejak awal ia menjabat sebagai Komisaris Independen pada tahun 2015, ia sudah menyampaikan keberatannya terhadap proyek blast furnace.
"Dan sejak awal saya masuk ke KS terutama dalam waktu 2 tahunan terakhir ini saya sudah sampaikan (keberatannya)," pungkasnya.
Namun, karena proyek tersebut sudah berjalan sejak 2011, maka Roy bersama dengan dewan komisaris lainnya meminta adanya independen konsultan yang ahli dalam proyek blast furnace sehingga mereka dapat memberikan analisis terkait kerugian dan keuntungan, juga dampak dari proyek ini.
"Sempat ada dulu (konsultan independen), tapi kemudian karena apa itu istilahnya terstruktur (proyeknya) jadi nggak ada lagi," ucapnya.
Baca juga: Krakatau Steel Rugi, JK Singgung Daya Saing RI Kalah dari China
Selain itu, ia juga menyayangkan keputusan direksi untuk menjalankan proyek ini sejak dua minggu yang lalu meski belum diuji coba.
"Tiga-empat minggu yang lalu di rapat BOD (Board of Director) BOC (Board of Commissioner) diputuskan bahwa fasilitas ini akan segera beroperasi. Saya langsung menyampaikan bahwa saya tidak setuju dan saya akan menyampaikan dissenting opinion," papar dia.
Ia juga memaparkan bahwa blast furnace ini juga belum memiliki gas holder atau penyaring gas buangan. Sehingga, gas buangan yang dihasilkan dari proyek ini langsung dibuang ke udara.
"Sekarang saja mereka sudah berani operasi padahal belum menghasilkan hot metal. Sekaramg kan sudah melakukan kegiatan walaupun gas holdernya belum selesai. Gas buangan produksi ini buangnya ke udara. Jadi saya melihat disuruhnya berproduksi ini sangat dipaksakan," tandasnya.