a a a a a
logo
Short Landscape Advertisement Short ~blog/2022/2/1/pak prihadi
Bersama Kita Membangun Kemajuan Industri Smelter Nasional
News

Nikel, Industri Baterai, dan Kedaulatan Energi Nasional (Bagian I)

Nikel, Industri Baterai, dan Kedaulatan Energi Nasional (Bagian I)
Pada peta jalan (roadmap) industri otomotif yang telah digagas oleh Kementerian Perindustrian disebutkan bahwa Indonesia sudah akan mulai memproduksi mobil listrik (electric vehicle) tahun 2022. Gagasan tersebut bersinergi dengan peta jalan yang dikeluarkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dalam upaya pengembangan energy baru dan terbarukan (EBT).

Dengan demikian, pada 2022 Indonesia sudah akan memproduksi mobil listrik dengan segala jenis variannya. Berbagai varian tersebut adalah HEV (Hybrid Electric Vehicle), PHEV (Plug-in Hybrid Electric Vehicle), BEV (Battery Electric Vehicle) dan FCEV (Fuel Cell Electric Vehicle).

Seluruh jenis mobil listrik tersebut membutuhkan baterai yang dapat diisi ulang (rechargeable battery) sebagai salah satu komponen utamanya. Energi listrik yang tersimpan pada baterai tersebut akan digunakan sebagai penggerak motor kendaraan dengan pengaturan tertentu.

Pada PHEV dan BEV, energy listrik dari luar disimpan langsung dalam baterai sebagai media penyimpan. Dalam HEV, energi mekanik dari mobil diubah menjadi energy listrik untuk disimpan dalam baterai. Sedangkan pada FCEV, energi listrik berasal dari proses elektrokimia (fuel cell) dengan bahan dasar utamanya adalah gas hidrogen.

Pada periode bersamaan, Kementerian ESDM memiliki gagasan luhur dalam hal pengembangan energi baru listrik sebagai bagian dari upaya pengembangan EBT khususnya yang berbasiskan energy surya (solar energy) dan energi angina (wind energy). Kedua jenis basis energi tersebut juga membutuhkan baterai isi ulang untuk mendukung kinerjanya.

Rencana jangka panjang dua kementerian tersebut sejatinya dalam rangka mempersiapkan Indonesia sejak dini dalam menyambut era baru mobil listrik maupun EBT. Disadari atau tidak, mau atau tidak mau, realisasi kedua hal tersebut di Indonesia hanya tinggal masalah waktu. Di belahan dunia lain, kedua hal tersebut sudah sangat digalakkan dengan dukungan dari seluruh pemangku kepentingan.

Menurut Bloomberg New Energy Finance, pada tahun 2025 sekitar 2,5% dari populasi mobil di dunia adalah mobil listrik. Sedangkan pada tahun 2040 populasinya meningkat menjadi 35%. Pemakaian mobil listrik dunia tumbuh signifikan dengan pertumbuhan rata-rata sekitar 45% sejak 2011. Sedangkan untuk pemakaian EBT dunia tumbuh dengan rata-rata 15% per tahun.

Pada tahun 2001 energi listrik yang bersumber EBT hanya sekitar 17 GW. Namun pada 2018, listrik yang dihasilkan dari EBT telah mencapai 180 GW. Energi surya dan angina menyumbang pertubuhan makin tinggi untuk EBT. Sedangkan tenaga air cenderung menurun.

Untuk EBT di Indonesia, pada tahun 2018 EBT memberikan kontribusi 5,7% pada bauran energi nasional. Sedangkan pada tahun 2025 Kementerian ESDM berencana untuk meningkatkan porsi EBT menjadi 23% pada bauran energy nasional. Sebuah target yang cukup ambisius.

Semakin tingginya penggunaan mobil listrik dan EBT tidak terlepas dari kian meningkatnya kesadaran atas tingkat kerusakan iklim yang sudah akut akibat pemakaian energi yang berbasis bahan bakar karbon. Kerusakan iklim tersebut menimbulkan efek buruk berantai pada berbagai aspek lini kehidupan.

Kini, biaya energi pada operasional mobil listrik dan EBT juga makin rendah apalagi setelah ditemukan berbagai jenis material baru yang memiliki kemampuan menyimpan energy (energy density) lebih tinggi. Selain itu seiring perkembangan teknologi, proses pengisian baterai isi ulang saat ini semakin cepat dengan umur operasi (life cycle) makin lama.

Sumber Daya Lokal sebagai Penopang Utama

Terdapat lima jenis baterai isi ulang dengan basis Lithium-ion Battery (LiB) yang kerap digunakan untuk menopang perkembangan mobil listrik dan EBT. Selain pada kedua pemakaian tersebut, baterai isi ulang saat ini memiliki pemakaian sangat luas, mulai dari perangkat komputer portabel, perangkat elektronika, drone, robot ukuran mikro, telepon cerdas (smartphone), peralatan medis hingga pemancar telekomunikasi (base transceiver station/BTS).

Dari lima jenis baterai tersebut, dua di antaranya yang paling banyak digunakan adalah jenis NCM (Nickel-Cobalt-Manganese) dan NCA (Nickel-Cobalt-Aluminium). Penamaannya didasarkan pada material inti pembentuk baterai (precursor). Kedua jenis material tersebut memiliki densitas energy sangat tinggi (5-7 kali aki timbal), cepat penuh ketika diisi ulang, tahan lama ketika digunakan dan stabil saat pemakaian sehingga bisa lebih menjamin keselamatan saat beroperasi.

Selain itu, dan ini lebih penting dari aspek lingkungan dan ekonomi, adalah kedua jenis material tersebut bisa didaur ulang (recycle). Dalam baterai isi ulang, material NCM dan NCA --yang ke dalamnya telah diinjeksikan unsur litium dengan porsi tertentu—bertindak sebagai kutub positif (katode).

Ada pun kutub negatifnya (anode) hingga saat ini yang digunakan adalah unsur karbon dari jenis grafit. Dalam operasi sebuah baterai isi ulang, unsur litium (dalam bentuk ion litium) bergerak dari kutub katode ke anode ketika diisi energi listrik (charging), dan sebaliknya bergerak dari anode ke katode sambil melepaskan energi listrik ketika sedang dipakai (discharging).

Material katode memakan porsi terbesar dalam biaya produksi sebuah baterai isi ulang yakni hingga 55%. Unsur nikel (Ni) merupakan bagian terbesar dari seluruh komponen utama pembentuk material baterai NCA dan NCM. Pada NCA, kandungan unsur nikel (Ni) adalah sekitar 48%, kobalt (Co) sekitar 9%, dan aluminium (Al) 1%. Sedangkan pada jenis NCM, kandungan unsur nikel adalah 20%, kobalt 19% dan mangan (Mn) 20%.

Pada kedua jenis material tersebut litium berjumlah sekitar 7%. Seluruh material inti NCM dan NCA terdapat di Indonesia dengan jumlah berlimpah kecuali litium. Nikel dan kobalt merupakan unsur utama dalam kedua jenis material baterai ini. Keberadaannya terletak pada bijih nikel yang tersebar di Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku Utara, dan sebagian kecil terdapat di Maluku dan Papua Barat. Nikel terdapat pada bijih nikel tipe saprolit dan limonit dengan kandungan masing- masing sekitar 1,7% dan 1,3%.

Sedangkan kobalt lebih banyak terkonsentrasi pada bijih tipe limonit dengan kandungan sekitar 0,1%. Adapun mangan (Mn) terdapat pada bijih mangan yang tersebar di daerah Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Sedangkan grafit yang dipakai untuk anode juga terdapat di Indonesia dalam keadaan alami maupun dalam bentuk batu bara yang harus diolah terlebih dahulu.

Menurut data dari Pusat Sumber Daya Mineral, Batubara dan Panas Bumi tahun 2018, total sumber daya bijih nikel (resources) yang dimiliki Indonesia adalah sekitar 6,8 miliar WMT (wet metric ton). Sejumlah 3.2 miliar WMT di antaranya diklasifikasikan sebagai cadangan (reserve). Tidak disebutkan berapa porsi bijih saprolit (nikel kadar tinggi) dan bijih nikel limonit (bijih nikel kadar rendah), dan berapa pula yang diklasifikasikan sebagai cadangan yang siap ditambang (minable reserve).

Namun berdasarkan pengalaman penulis di lapangan, pada umumnya yang diklasifikasikan sebagai saprolit itu tidak lebih dari 40%. Sedangkan cadangan yang siap ditambang itu adalah sekitar 60% dari total cadangan. Dengan demikian, total cadangan saprolit yang siap ditambang itu sekitar 756 juta WMT. Klasifikasi sumber daya dan cadangan ini bisa berubah setiap waktu tergantung dari kemajuan aktivitas eksplorasi dari beberapa perusahaan tambang yang melaporkan kemajuan eksplorasinya kepada ESDM.

Berdasarkan prediksi dari Kementerian ESDM, pada tahun 2021 akan beroperasi beberapa smelter dengan kapasitas input bijih nikel sekitar 71,2 juta WMT/tahun. Seluruhnya menggunakan bijih nikel saprolit sebagai bahan bakunya dengan teknologi pirometalurgi. Dengan demikian, jika tidak terjadi perubahan penggunaan teknologi dan klasifikasi cadangan maka cadangan siap tambang bijih nikel saprolit Indonesia akan kian menipis dalam waktu tidak terlalu lama.

Sementara itu, hampir keseluruhan produk yang dihasilkan tidak berkorelasi dengan industri baterai karena hampir seluruhnya digunakan sebagai bahan baku industri baja tahan karat di luar negeri. Hingga saat ini, belum ada satu pun perusahaan di Indonesia menghasilkan produk yang berkorelasi langsung dengan industri baterai isi ulang.

Data dari Pusat Sumber Daya Mineral, Batubara dan Panas Bumi tahun 2018, menyebutkan bahwa total sumber daya bijih nikel (resources) yang dimiliki Indonesia adalah sekitar 6,8 miliar WMT (wet metric ton). Sejumlah 3,2 miliar WMT di antaranya diklasifikasikan sebagai cadangan (reserve).

Tidak disebutkan berapa porsi bijih saprolit (nikel kadar tinggi) dan bijih nikel limonit (bijih nikel kadar rendah), dan berapa pula yang diklasifikasikan sebagai cadangan yang siap ditambang (minable reserve). Dengan menggunakan data yang sama, cadangan bijih nikel limonit yang memiliki kadar nikel rendah masih tersimpan sebagai potensi yang belum dimanfaatkan.

Potensi kandungan unsur kobalt dalam bijih limonit juga terbilang lebih tinggi dari potensi yang terdapat pada saprolit. Hanya saja, pengolahannya harus menggunakan teknologi hidrometalurgi dengan tantangan tersendiri. Jumlah di atas merupakan potensi yang luar biasa yang bisa dikembangkan sehingga Indonesia akan menjadi yang terdepan dalam pengembangan industri baterai isi ulang dengan kekuatan sumber daya lokal.

Kecuali litium (porsi 7% pada material baterai), seluruh material utama untuk pengembangan industri baterai isi ulang untuk mendukung mobil listrik dan EBT ada di Indonesia. Lalu, bagaimana arah kebijakan pemerintah yang sebaiknya diimplementasikan? (Bersambung)