Jakarta-Anggota Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Laode Ida mengatakan percepatan kebijakan pelarangan ekspor nikel di 2020 memberikan ketidakpastian hukum bagi pelaku usaha. Sebab sebelumnya, pelarangan ekspor nikel baru terjadi pada 2022. Ombudsman juga mengendus potensi korupsi dalam kebijakan tersebut, mengingat kebijakan tersebut berpotensi hanya menguntungkan pelaku usaha tertentu.
NERACA
Sebelumnya, pemerintah membuka keran ekspor bijih nikel pada 2017 lewat Permen ESDM Nomor 5 Tahun 2017. Dalam aturan tersebut pengusaha tambang yang telah memenuhi pemanfaatan nikel dalam negeri lewat pembangunan smelter, dapat melakukan penjualan nikel dengan kadar rendah dalam jumlah tertentu, paling lama lima tahun sejak berlakunya permen tersebut. Artinya, pelarangan ekspor nikel akan dilakukan pada 2022.
"Saya juga bingung, tadi presentasi dari Kementerian ESDM itu sebetulnya berdasarkan perencanaan yang sangat baik sehingga kenapa pengakhiran pemberian kesempatan ekspor itu sampai tahun 2021 akhir atau awal 2022," ujar Laode ditemui di Jakarta, Jumat (15/11).
Namun, melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019 pelarangan ekspor berlaku 1 Januari 2020. Terakhir, ketentuan waktu ekspor konsentrat yang diatur dalam seluruh peraturan di atas, dianulir dan berubah menjadi 29 Oktober 2019 lalu. "Kenapa langsung. Kita bingung. Makanya tidak ada kepastian. Jadi banyak yang menjadikan orang bertanya-tanya," ujarnya seperti dikutip merdeka.com.
Pelarangan tersebut, menurut dia, melanggar prinsip-prinsip pelayanan publik. Juga merugikan masyarakat. "Dalam undang-undang administrasi kepemerintahan tidak boleh juga satu kebijakan yang berdampak merugikan masyarakat," jelas dia.
Selain itu, Permen 11/2019 ini juga melanggar sejumlah peraturan dan perundang-undangan. Meskipun demikian, dia tidak menjabarkan secara rinci Undang-Undang mana saja yang dilanggar. "Proses pembuatan kebijakannya (pelarangan ekspor nikel) pun sudah bertentangan dengan beberapa Undang-Undang atau peraturan yang ada. Termasuk Inpres yang dikeluarkan oleh Pak Jokowi sendiri itu harus melibatkan masyarakat sebelum mengambil kebijakan dan harus mempertimbangkan dampaknya," tutur dia.
Pemerintah Jokowi secara resmi menghentikan ekspor nikel per 31 Desember 2019. Kebijakan ini diambil mempertimbangkan stok nikel dalam negeri yang bisa ditambang tinggal 8 tahun lagi.
Dalam diskusi tematik 'Kebijakan Pembatasan Ekspor Nikel' tersebut, Ombudsman juga mengundang perwakilan Kemenko Bidang Kemaritiman dan Investasi, Kementerian ESDM, Kementerian Perdagangan, serta Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Menurut Laode, pihaknya mengendus potensi korupsi dalam kebijakan tersebut. Kebijakan tersebut juga potensi hanya menguntungkan pelaku usaha tertentu. "Yang terpenting, kami melihat kebijakan pelarangan ekspor ini berpotensi koruptif. Karena bisa hanya memberikan keuntungan sekelompok orang, sekelompok pebisnis atau pemegang smelter di dalam negeri, di mana itu juga adalah PMA," ujar dia.
Laode mengingatkan, "Kita tahu PMA tidak lari ke dalam negeri. Itu hanya sebagian kecil saja lari ke dalam negeri. Padahal itu memanfaatkan sumber daya alam."
Potensi keuntungan tersebut, jelas dia, berasal dari selisih harga nikel. "Dari segi harga, hari ini, harga nikel di London metal exchange itu 70 USD per metrik ton untuk kadar 1,65. Sementara harga di tingkat lokal itu belum ada harganya itu untuk kadar 1,65. Yang diterima dari 1,8 up dengan harga yang jauh lebih rendah, yaitu USD 25, USD 28, mungkin USD 30 paling tinggi," ujarnya.
Harga nikel yang ditekan, menurut dia, bakal mengakibatkan turunnya pelaku industri nikel dalam negeri. Hal ini bisa berimbas pada upaya rehabilitasi lingkungan di tempat usaha tambang nikel. "Margin keuntungan rendah tidak bisa disisihkan untuk perbaikan lingkungan. Sementara pembeli ore nikel ini masih terbatas Sekarang. Cuma dua atau tiga yang besar, Virtue dragon dan Morowali, mungkin akan dibangun yang lain-lain, tapi sementara begitu," tegas dia.
Sebelumnya Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Bambang Gatot mengatakan, larangan ekspor nikel yang diberlakukan per 31 Desember 2019 akan diatur dalam Peraturan Menteri ESDM saat ini payung hukum tersebut sudah diundangkan di Kementerian Hukum dan Ham.
"Saat ini sudah ditandatangani Peraturan Menteri ESDM, mengenai penghentian ekspor smelter per Desember 2019 artinya Januari 2020 tidak ada lagi," ujar Bambang di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (2/9).
Menurut Bambang, larangan tersebut mempertimbangkan kondisi cadangan nikel yang siap ditambang hampir mencapai 700 juta ton, sementara berdasarkan catatan kementerian ESDM dengan cadangan tersebut hanya cukup 8 tahun.
"Pertimbangan cadangan nikel saat ini ekspornya besar sekali, memang cadangan terkira 2,8 miliar tapi ini kan harus ada penelitian eksplorasi lebih detail lagi, dengan cadangan tersebut kita berpikir berapa lama kalau seandainya kita terus memberikan izin ekspor," ujarnya.
Bambang mengungkapkan, kebijakan tersebut diterapkan juga sudah mempertimbangkan kondisi kontrak ekspor yang dilakukan perusahaan. Dengan batas waktu empat bulan maka ada kesempatan bagi perusahaan melakukan penyesuaian kontrak. "Masa transisi 4 bulan sehingga harus menyesuaikan semua otomatis yang kontrak kontrak menyesuaikan semua," tandasnya.
Pada bagian lain, Dirjen Kementerian Keuangan, Heru Pambudi, mengatakan 9 perusahaan kembali melakukan ekspor nikel usai pencabutan larangan ekspor beberapa waktu lalu. Pemberian izin kepada 9 perusahaan tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan kepatuhan dalam mengikuti peraturan yang ada.
"Sekarang yang perlu verifikasi lanjutan ada dua, yang 9 sudah penuhi syarat sehingga kita bisa izinkan ekspor," ujar Heru saat ditemui di Kantor Kementerian Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi, Jakarta, Senin (11/11).
Heru melanjutkan, dua perusahaan masih mengajukan persyaratan untuk kembali melakukan ekspor. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan surveyor masih terus melakukan verifikasi terhadap dua perusahaan tersebut.
"(Nama perusahaannya?) Wah tidak hapal PT nya. Tapi 2 sedang kami lakukan verifikasi lanjutan, bukan kami maksudnya, tapi ESDM sedang lakukan verifikasi lanjutan kerjasama dengan surveyor. Nanti ini, makanya kami akan koordinasi lebih lanjut supaya ada kepastian," ujarnya.
Dia menambahkan, ada 3 persyaratan yang harus dipenuhi oleh eksportir jika ingin menjalankan usahanya. Pertama kadar nikel harus memenuhi standar. Kedua, harus memiliki persetujuan ekspor, serta harus berkaitan dengan kemajuan pembangunan smelter. "Jadi kan ada beberapa syarat, pertama kadar, kedua persetujuan ekspor sendiri, di belakang persetujuan ekspor berkaitan dengan kemajuan pembangunan smelter. Saya kira meliputi 3 tiga variabel," ujarnya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan memastikan bahwa larangan ekspor sementara bijih (ore) nikel untuk para pengusaha yang tertib sudah dicabut. Dengan pencabutan ini para eksportir bisa kembali melanjutkan ekspor hingga akhir tahun. "Sudah (dicabut) buat yang tidak melanggar," ujarnya.
Luhut mengatakan, pencabutan izin larangan ini hanya berlaku untuk para eksportir telah memenuhi persyaratan dan prosedur yang tepat. Sehingga ini tidak berlaku untuk para eksportir yang kedapatan melebihi kapasitas.
Sejauh ini, pihaknya bersama dengan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan Kementerian ESDM tengah melakukan evaluasi terkait dengan para eksportir nikel yang nakal. Apakah nantinya akan tetap diberikan izin ekspor atau justru dihentikan secara total. bari/mohar/fba