Polemik antara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dengan PT PLN soal penetapan harga setrum pembangkit lisrik tenaga mini hidro (PLTMH) masih berlanjut.
Hingga Selasa (10/5), Kementerian ESDM belum mendapat laporan mengenai pencabutan Surat Edaran Direksi PLN No 0497/REN.01.01/DITREN/2016 tentang Harga Listrik PLTA. Surat itu diteken oleh Direktur Perencanaan Korporat PLN, Nicke Widyawati pada 11 April 2016.
Ini berarti manajemen PLN mengabaikan surat Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Dirjen EBTKE) Kementerian ESDM Rida Mulyana, pada 4 Mei 2016. Isi surat itu meminta Direktur Utama PLN Sofyan Basir untuk mencabut Surat Edaran Direksi PLN No 0497.
Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Kementerian ESDM, Maritje Hutapea berharap PLN mematuhi instruksi Dirjen EBKTE, "Mereka hanya menyampaikan secara lisan akan mencabutnya. Namun, sampai sekarang belum ada laporan langsung tertulis bahwa surat edaran itu sudah dicabut," kata Maritje kepada KONTAN, Selasa (10/5).
Sayang, Direktur Korporat PLN Nicke Widyawati maupun Direktur Utama PLN Sofyan Basir tak mau memberikan tanggapan saat KONTAN menanyakan kepastian soal surat edaran tersebut. Hanya saja keputusan direksi PLN ini mendapat dukungan dari pekerja PLN.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Serikat Pekerja PLN, Jumadi Abda menyatakan, PLN menolak untuk mengikuti Permen No 19/2015. Pasalnya, kebijakan pemerintah yang menetapkan feed in tariff PLTMH seharga Rp 1.560-Rp 2.080 per KwH jelas lebih mahal ketimbang harga listrik dari batubara yang saat ini cuma Rp 800-Rp 900 per kWh.
"Keuangan PLN akan terbebani bila harus membeli listrik mikro hidro dengan harga semahal itu," terangnya kepada KONTAN, Selasa (10/5). Apalagi, subsidi yang dijanjikan oleh Kementerian ESDM masih kontradiktif. Sebab, subsidi itu lebih menguntungkan investor ketimbang PLN. "Uang subsidi itu uang rakyat. Tidak sepatutnya subsidi listrik menguntungkan segilintir oknum dan pengusaha," ungkapnya.
Selain itu, kata dia, saat ini Kementerian ESDM belum bisa memastikan besaran subsidi yang diberikan jika PLN mematuhi pembelian setrum PLTMH sesuai instruksi. "Kepada PLN selalu ada penekanan mengenai efisiensi. Sedangkan kepada investor justru tidak masalah menggunakan dana subsidi," tegasnya.
Namun demikian, Ketua Asosiasi Pengembang Pembangkit Listrik Tenaga Air (APPLTA), Riza Husni berpendapat pengembangan PLTMH yang diatur dalam Permen ESDM No 19/2015 yakni pembangkit hidro dengan kapasitas di bawah 10 megawatt (MW). Nah pembangkit listrik ini hanya dikhususkan untuk investor dalam negeri. Artinya aliran subsidi bukan untuk pengusaha listrik besar.
Pertimbangan lain, harga setrum PLTMH ini agar mereka bisa mendapatkan pendanaan dari bank alias bankable. "Pemerintah paham bahwa pembiayaan dalam negeri berjangka antara 5-8 tahun, diharapkan ada titik temu yang ideal antara investor dengan perbankan," kata dia.
Asal tahu saja, pertimbangan Kementerian ESDM meminta PLN untuk mengikuti Peraturan Menteri ESDM No 19/2015 tentang Pembelian Listrik Tenaga Air agar ada pembangunan pembangkit dengan kapasitas 10 MW diluar Pulau Jawa. Pemerintah meminta PLN membeli dengan harga US$ 0,12 per KwH. Sedangkan PLN hanya mampu US$ 0,09 per KwH.
Maritje mengakui saat ini juga ada kesepakatan soal berapa angka subsidi yang tepat untuk PLN. "Nantinya kalau sudah sepakat soal angka subsidi, akan diajukan ke APBNP," ujarnya.