a a a a a
logo
Short Landscape Advertisement Short ~blog/2022/2/1/pak prihadi
Bersama Kita Membangun Kemajuan Industri Smelter Nasional
News

Pak Bahlil, Penambang Nikel Ancam Boikot Pabrik Smelter Nih!

Jakarta, CNBC Indonesia - Jika pemerintah tidak kunjung membuat Harga Patokan Mineral (HPM) penambang nikel mengamcam akan melakukan boikot kepada sejumlah smelter. Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey mengatakan, pemboikotan akan dimulai dari enam bulan ke depan.

"Sudah mulai ada beberapa perusahaan yang memboikot. Sudah ada perusahaan yang menahan. Kemudian ada beberapa perusahaan yang tidak bisa diboikot karena dia sudah dikontrak harus jalan dong. Kalau nggak kan pidana," ungkap Meidy Rabu (6/11/2019) sebagaimana dikutip dari apni.or.id.

Menurutnya pemboikotan tersebut dilakukan karena beberapa sudah memiliki stok ore nikel untuk diolah hingga enam bulan ke depan. Pihaknya akan memboikot dalam 5-6 bulan ke depan. "Di salah satu smelter paling hanya ada 3 bulan stok yang saat ini di Morowali maksimal 5 bulan (stok). Bulan ke enam dia nyari kita nggak (nikel). Gitu aja," imbuhnya.

Penambang dengan smelter memiliki masalah sejak dulu. Meidy mengatakan, permasalahan yang muncul di antaranya soal kualitas dan harga. Selama ini harga beli domestik selalu di bawah harga beli internasional. Kondisi ini membuat pengusaha lebih memilih untuk ekspor.

"Jika harga yang ditentukan sudah layak menurutnya tidak akan ada lagi yang ekspor. "HPM sudah amat cukup. Pertanyaannya, smelter mau terima apa enggak?" terang Meidy.

Lebih lanjut dirinya mengatakan jika penambang berhenti produksi, hanya akan rugi di alat berat. Namun, jika smelter tidak mendapatkan bahan baku maka smelter menjadi pihak yang sangat rugi.

Pihaknya berharap Pemerintah mengatur soal Harga Patokan Mineral (HPM) dengan kisaran harga beli US$ 32 per ton. Aturan soal pembatasan ekspor telah tertuang dalam Permen ESDM nomor 11 Tahun 2019 soal stop ekspor nikel pada 1 Januari 2020.

Permasalahannya saat ini larangan ekspor yang harusnya berlaku awal tahun depan, dimajukan meski bersifat sementara. Perubahan ini, imbuhnya, menuai kekecewaan dari investor asing.

Tidak hanya mempermasalahkan harga nikel, pihaknya juga meminta agar ada surveyor independen yang menilai kualitas nikel, berdasarkan rekomendasi Kementerian ESDM. Kondisinya, nikel yang dijual di dalam negeri kadarnya di atas 1,8%. Hal ini disebabkan surveyor yang titunjuk bukan berdasarkan rekomendasi ESDM.

"Kalau barang kita dari sini 1,8%, tapi kalau penilaian dari sama nilai 1,65% atau di bawahnya kan dihitung reject. Padahal saya tahu kalau yang di bawah 1,4 itu masih bisa di olah. Barang tidak dikembalikan karena kan mengembalikan barang itu perlu ratusan juta lagi. Jadi daripada tambah rugi kita kerap kali ikhlaskan barang," keluhnya.