Pakai PP 1/2017, Pemerintah Dorong Perusahaan Tambang Bangun Smelter
Jakarta - Menteri Energi, Sumber Daya dan Mineral (ESDM) Ignasius Jonan menegaskan bahwa pemerintah masih terus menempuh jalur perundingan dengan PT Freeport Indonesia (PTFI). Perundingan tersebut dilakukan untuk menyelesaikan penolakan perubahan ketentuan Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Bahkan, Jonan mengaku sudah banyak yang ditawarkan pemerintah kepada perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS) tersebut, dalam perundingan yang terus berlangsung. Meskipun, tidak dirinci sejumlah penawaran tersebut tetapi berjanji akan mengumumkannya jika perundingan telah berakhir.
"Kalau surat terakhir yang saya terima dari Freeport itu, mereka meminta untuk mengadakan perundingan. Ini sudah jalan, kita tunggu saja hasilnya bagaimana. Banyak sekali, bukan ditawarkan, dirundingkan. Saya pikir, saya tidak akan update sepenggal begitu ya. Kita akan buat, nanti kalau sudah final, pastinya diumumkan," kata Jonan yang ditemui di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (1/3).
Atas dasar itu, Jonan enggan membicarakan kemungkinan perseteruan diselesaikan melalui arbitrase internasional. Sebab, jalur perundingan masih ditempuh dan diharapkan menyelesaikan persoalan. Terkecuali, tidak dicapai kata sepakat antara pemerintah dan PTFI.
Meskipun demikian, Jonan tetap menegaskan bahwa sesuai aturan maka perjanjian kerjasama harus berubah dari Kontrak Karya (KK) ke IUPK. Terkecuali, perusahaan tambang tersebut memiliki smelter yang tidak hanya mengolah bijih tambang menjadi konsentrat tetapi juga mampu memurnikannya.
"Sesuai arahan bapak presiden, kita sebisa mungkin memasuki perundingan tentang perpindahan dari KK. Jadi dulu perjanjiannya KK menjadi IUPK, ini kan amanah undang-undang. Sebenarnya ini bahwa apakah semua pemegang perjanjian KK itu wajib merubah perjanjiannya itu menjadi IUPK? sebenarnya tidak wajib. Jadi kayak misalnya beberapa perusahaan tambang emas juga itu mereka tidak merubah menjadi IUPK, karena apa? karena mereka sudah punya smelter yang digunakan untuk pengolahan dan pemurnian," jelas Jonan.
Khusus untuk PTFI, Jonan mengungkapkan bahwa perubahan pernjanjian dari KK menjadi IUPK menjadi keharusan karena perusahaan tersebut tidak memiliki smelter yang mampu memurnikan konsentrat. Meskipun, sudah memiliki smelter di Gresik, Jawa Timur.
"Dalam UU Minerba, (UU) No.4 tahun 2009, pasal 170 itu jelas disebutkan bahwa semua pemegang KK, wajib melakukan pengolahan dan pemurnian lima tahun sejak UU Minerba itu diundangkan. Jadi, mustinya tahun 2014 sudah habis. Jadi, ini karena waktu itu oleh menteri sebelumnya itu diperpanjang sampai Januari tahun 2017. Setelah itu, kita bilang ini kan tidak bisa. Masa kita juga harus melanggar undang-undang. Jadi kita sebutkan, kita minta bahwa freeport itu, KK-nya berubah menjadi IUPK," paparnya.
Kemudian, lanjutnya, dalam Pasal 102 dan 103 disebutkan bahwa pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan IUPK wajib melakukan pengolahan dan pemurnian. Dengan tujuan, tidak ada lagi ekspor biji ore, bauksit ataupun copper tembaga. Sebab, pemurnian harus dilakukan di dalam negeri.
Stabilitas Investasi
Lebih lanjut, Jonan memastikan bahwa aturan mengenai pemurnian tersebut tidak akan mengancam stabilitas investasi perusahaan tambang di Tanah Air. Sebab, pemerintah juga telah memperhitungkan keberlangsungan investasi di Indonesia.
"Ini yang arahan presiden, kalau memungkinkan itu harus dirundingkan, Jadi dirundingkan dengan Freeport. Freeport meminta stabilitas investasi, kami sudah minta bantuan Menteri Keuangan dan juga Menko Perokonomian, Kepala BKPM. Nanti kami akan juga akan undang Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Tenaga Kerja supaya sama-sama dengan Kejaksaan Agung juga membuat bagaimana pengalihan itu (KK ke IUPK), tidak melanggar UU," ungkapnya.
Bahkan, Jonan mengatakan bahwa pemerintah Indonesia tetap menghargai semua perjanjian yang pernah dibuat dengan perusahaan tambang. Dengan catatan, tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang ada.
"Ada kekhawatiran dari kedua belah pihak, terutama menurut saya Freeport, khawatir ini nanti kalau pemerintahnya ganti, ganti aturan lagi. Tidak, kita bilang ini kita komitmen kok, apa yang sudah diperjanjikan selama tidak melanggar UU, kita jalankan," tegasnya.
Sebelumnya, Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla (JK) mengungkapkan tinggal dua persoalan yang belum menemui kata sepakat antara pemerintah Indonesia dengan PTFI. Pertama, mengenai mekanisme pajak yang berubah dari naildown atau tetap menjadi prevailing. Kedua, persoalan divestasi saham.
Meskipun demikian, JK menekankan bahwa ada UU dan peraturan yang harus dipatuhi oleh setiap perusahaan tambang yang ada di Tanah Air.
Persoalan dengan PTFI berawal dari larangan pemerintah kepada pemegang kontrak karya untuk mengekspor konsentrat. Sebab, dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.1/2017 yang dikeluarkan pada 11 Januari 2017, disebutkan hanya pemegang IUPK yang diizinkan mengekspor konsentrat selama lima tahun ke depan. Pemegang kontrak karya masih bisa mendapat izin ekspor konsentrat jika beralih menjadi IUPK.
Terhadap keputusan tersebut, PTFI menyatakan tidak setuju. Meskipun, pada 10 Februari 2017, Kementerian ESDM sebenarnya sudah menerbitkan IUPK bagi Freeport dan ditolak. Sebab, dianggap tidak menjamin kepastian fiskal dan hukum.
Sebaliknya, Chief Executive Officer Freeport McMoRan Richard C Adkerson mengatakan bahwa perusahaannya akan menempuh jalur arbitrase jika dalam dalam 120 hari belum tercapai kesepakatan dengan pemerintah Indonesia.
"Saat ini dalam proses menuju arbitrase. Kami berharap segera mencapai jalan keluar yang disepakati bersama," kata Richard dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (20/2).
Richard menuturkan pihaknya telah menyampaikan kepada Kementerian ESDM mengenai tindakan-tindakan wanprestasi dan pelanggaran kontrak karya oleh Pemerintah. Sikap tersebut disampaikan pada 17 Januari 2017.
Dia menjelaskan pemerintah Indonesia meminta Freeport untuk mengakhiri kontrak karya guna mendapatkan izin ekspor konsentrat. Sebagai penggantinya pemerintah menerbitkan IUPK. Namun, ia menilai IUPK yang diterbitkan itu belum menjamin kepastian fiskal dan hukum sebagaimana tertuang dalam kontrak karya.