Pasokan terbatas, harga nikel melambung ke level tertinggi dalam setahun terakhir
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga nikel mencapai level tertinggi di tahun ini. Selasa (16/7), harga nikel untuk pengiriman tiga bulan di London Metal Exchange berada di level US$ 14.070 per metrik ton, yang merupakan level tertinggi dalam setahun terakhir.
Salah satu faktor yang menyebabkan nikel berada di level tersebut ialah terbatasnya pasokan nikel global. Direktur PT Garuda Berjangka Ibrahim mengatakan bahwa permintaan yang tinggi di tengah pasokan nikel yang terbatas menjadi pendongkrak harga.
"Meskipun Indonesia menjanjikan di akhir tahun 2019 ada 3 smelter, tetapi itu masih nanti akhir tahun," ujar Ibrahim.
Ibrahim mengatakan bahwa ada larangan untuk mengekspor barang mentah di Indonesia sehingga ekspor nikel pun tak dapat dilakukan. Hal itu dilakukan karena ada ketakutan persediaan nikel dalam negeri mengalami kekurangan.
"UU Minerba tahun 2006 telah melarang ekspor tambang barang mentah dan harus mengekspor barang baku. Karena ada ketakutan bahwa stok nikel di Indonesia mulai berkurang, bisa saja tinggal 25 tahun lagi," jelas Ibrahim.
Selain karena pasokan terbatas, Ibrahim juga menilai naiknya harga nikel juga dipengaruhi oleh rencana The Fed untuk menurunkan tingkat suku bunga acuannya. "Kalau bank sentral jadi menurunkan suku bunga, maka dollar AS akan melemah. Pelemahan dollar AS ini akan menguntungkan komoditas, salah satunya nikel," ujar Ibrahim.
Ibrahim berpendapat harga nikel ini bisa mencapai US$ 15.500 per metrik ton hingga akhir tahun nanti. Hal ini masih disebabkan oleh pasokan nikel yang terbatas.
"Pasokannya kemungkinan terbatas karena hanya dua negara yang jadi pemasok yaitu Rusia dan Myanmar," ujar Ibrahim.
Meskipun hingga akhir tahun nikel diprediksi akan terus melambung, Ibrahim juga mengatakan bahwa bisa saja ada koreksi harga. "Harga US$ 14.000 itu sudah terlalu tinggi sehingga bisa terkoreksi," ucap Ibrahim.
Salah satu faktor yang tidak mendukung harga nikel meningkat ialah data PDB Tiongkok kuartal kedua yang turun dari kuartal sebelumnya. Hal ini menyebabkan bank sentral Tiongkok harus mengeluarkan stimulus dan menurunkan cadangan rasio.
"Secara fundamental tidak mendukung karena PDB Tiongkok di kuartal kedua 6,2%. Itu artinya ekonomi di Tiongkok mengalami masalah karena perang dagang," tambah Ibrahim.