Pelaku Smelter Kecewa Pemerintah Akan Relaksasi Ekspor Nikel
Jakarta, CNN Indonesia -- Pelaku usaha smelter nikel mengaku kecewa dengan kebijakan pemerintah yang akan menggolongkan nikel ore dengan kadar 1,8 persen sebagai salah satu komoditas yang bisa menikmati relaksasi ekspor mineral mulai tahun 2017 mendatang.
Wakil Ketua Asosiasi Perusahaan Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) Jonatan Handojo mengatakan, saat ini, banyak sekali smelter nikel dalam negeri yang mampu mengolah ore dengan kadar 1,8 persen ke bawah.
Bahkan, menurutnya, ada beberapa smelter yang bisa mengolah ore dengan kadar nikel 1,2 persen menjadi Nikel Pig Iron (NPI). "Nikel dengan kadar 1,8 persen itu sebenarnya bukan tergolong rendah dan masih dapat diolah di dalam negeri," jelas Jonatan melalui pesan singkat, Rabu (5/10).
Lebih lanjut ia menjelaskan, saat ini, terdapat 10 smelter di dalam negeri yang mampu melakukan pengolahan nikel berkadar 1,8 persen ke bawah karena menggunakan teknik blast furnace. Angka itu mencakup 50 persen dari smelter nikel existing sebanyak 20 smelter.
Lagipula, ia mengungkapkan, mengolah nikel dengan kadar di bawah 1,8 persen justru lebih ekonomis karena bisa menghemat penggunaan batu bara peringkat tinggi (kokas) yang lazim digunakan di dalam teknik blast furnace.
"Jadi, omong kosong belaka kalau Nickel Ore dibawah 1,8 persen itu tidak ada yang beli di dalam negeri. Saya pribadi baru saja membeli Nickel Ore dengan kadar 1,4 persen," katanya.
Melihat kemampuan industri smelter dalam negeri, seharusnya tidak ada alasan bagi pemerintah untuk melonggarkan ekspor nikel kadar 1,8 persen. Ia justru menduga relaksasi ekspor mineral ini dipicu oleh permintaan badan usaha dan negara tertentu.
"Ekspor ore nikel ke Jepang pasti dilakukan karena ada permintaan dari tiga smelter di sana yang tidak mau membangun smelter di Indonesia, karena yakin pemerintah pasti mau melakukan relaksasi mineral mentah. Smelter di sana hanya ada Hyuga Sumitomo, Pamco dan Nippon Steel," terang Jonatan.
Direktur Utama PT Vale Indonesia Tbk Nico Kanter menerangkan, perusahaannya juga bisa memproses nikel dengan kadar 1,5 persen hingga 1,6 persen. Sehingga, ia berharap, relaksasi ekspor ore nikel ini jangan diberlakukan secara keseluruhan.
"Kami berharap, (ekspor nikel) itu tidak diperlakukan secara keseluruhan. Harusnya pemerintah ada pertimbangan mineralnya apa, kenapa harus diekspor, dan lain-lain. Kalau kami sendiri tetap bisa mengolah dengan kadar di bawah 1,8 persen," ucapnya ditemui di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Selasa (4/10) malam.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bambang Gatot bersikeras bahwa pengolahan nikel dengan kadar 1,8 persen ke bawah tidak dapat dinikmati karena kurang menguntungkan.
Ia juga memastikan, tidak ada intervensi dari siapapun terkait pelaksanaan relaksasi ekspor ini. "Tetapi tentu sebelumnya kami sudah meminta masukan badan usaha melalui laporan tertulis. Jangan disimpulkan ini sebagai keinginan satu atau dua badan usaha," tegas Bambang.
Sebelumnya, Pelaksana Tugas (Plt) Menteri ESDM Luhut Binsar Pandjaitan menyebutkan bahwa nikel dengan kadar 1,8 persen akan dipertimbangkan sebagai salah satu komoditas yang bisa menikmati relaksasi ekspor pada tahun 2017 mendatang. Saat ini, smelter domestik belum bisa mengolah nikel dengan kadar yang dimaksud.
"Jadi, sepertinya nikel itu boleh diekspor karena kan di dalam negeri tidak sanggup untuk diolah. Dalam negeri tak bisa diproses," terang dia, kemarin.
Menurut data AP3I, saat ini terdapat 20 smelter nikel dengan kebutuhan ore mencapai 41,6 juta wet metric ton per tahun dengan produksi nikel ekuivalen mencapai 416,23 ribu metrik ton. Produksi nikel Indonesia terbilang menguasai 21 persen pangsa pasar dunia. (bir)