Peluang dan Tantangan Sektor Pertambangan pada 2019
Sektor Pertambangan masih jadi adalan pemerintah dalam penerimaan negara untuk APBN. Dirjen Minerba Kementerian ESDM bahkan optimistis sektor ini bisa menyumbang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)mencapai Rp 43 triliun pada akhir tahun ini.
Direktur Eksekutif Center of Energy and ResourcesIndonesia (CERI), Yusri Usman mengatakan, sektor pertambangan pada 2019 diperkirakan akan tumbuh sangat baik tetapi tetap harus dikontrol produksinya agar harga produknya tetap baik di pasar internasional.
Selain itu, sektor ini memiliki tantangan masalah harga pasar produk tambang yang fluktuatif dan persoalan lingkungan di sekitar tambang.
Bila tidak diantispasi, lanjut dia maka kerusakan lingkungan akibat tambang ini nilainya bisa jadi lebih besar dari penerimaan negara selama ini.
“Kementerian ESDM optimistis sektor ini bisa menyumbang PNBP mencapai Rp 43 triliun namun masih kalah jauh dari hasil cukai tembakau bisa mencapai 4 kali lipat yaitu sekitar Rp 150 triliun lebih sehingga Kementerian ESDM tidak boleh berbangga diri karena mineral ini bukan bahan baku terbarukan dan cadangannya terbatas,” kata Yusri kepada Investor Daily di Jakarta, Minggu (18/11).
Seperti diketahui, berdasarkan data realiasi PNBP dari Kementerian ESDM per September realisasi PNBP sektor pertambangan minerba sudah mencapai Rp 33,5 triliun. Angka ini 104 persen, dari target yang ditetapkan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2018 sebesar Rp 32 triliun.
"Target APBN 2018 Rp 32 triliun, realisasi 104 persen dari target," kata Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama (Biro KLIK) Kementerian ESDM Agung Pribadi belum lama ini .
Menurut Agung, prediksi setoran PNBP sektor pertambangan minerba bisa mencapai Rp 40 triliun pada akhir tahun ini, dengan melihat kondisi realisasi capaian PNBP sampai saat ini. "Kita usahakan Desember 2018 di atas Rp 40 triliun," tutur dia.
Capaian PNBP sektor minerba yang melebihi target disebabkan beberapa hal. Ini diantaranya pelaku usaha semakin tertib membayar kewajibannya, pengetatan pengawasan Kementerian ESDM dalam mengontrol pelaku usaha pertambangan minerba dan perbaikan sistem dengan menggunakan fasilitas E-PNBP.
Sementara untuk tahun 2019, pemerintah mencanangkan target PNBP minerba sebesar Rp 41,82 triliun. Adapun rinciannya adalah PNBP sumber daya alam (SDA) minerba targetnya sebesar RP 24,12 triliun dan hasil penjualan hasil tambang sebesar Rp17,69 triliun.
Untuk mengoptimalisasi penerimaan negara dari sektor tambang, Kementerian ESDM telah menyiapkan sejumlah strategi. Di antaranya dengan meminta pembayaran di muka dan mengurangi biaya yang sekiranya berpotensi memangkas penerimaan negara.
Yusri menilai, sektor industri pertambangan masih merupakan andalan pemerintah sampai dengan 5 tahun mendatang dengan beberapa komoditas unggulan seperti batubara , nikel ,emas , tembaga , perak , timah dan biji besi serta bauksit.
Namun, dia menilai komoditas unggulan tersebut belum diolah optimal untuk ditingkatkan nilai tambahnya.
Hal ini terjadi karena pemerintah pada 2017 masih meloloskan ekspor dalam kondisi mentah dan menyimpang dari UU Minerba Nomor 4 tahun 2009.
“Padahal batasnya diawal tahun 2014 semua mineral logam harus dimurnikan 100% di smelter dalam negeri,” ujarnya.
Dari sisi regulasi, kata dia, pemerintah telah memberikan dukungan. Namun seringnya perubahan kebijakan dan peraturan telah menghambat proses hilirisasi mineral logam mentah dan batubara.
“Padahal kalau Pemerintah konsisten dengan UU Minerba maka negara akan menerima nilai tambah jauh lebih besar daripada saat ini,” tegasnya.
Dia berpendapat proses hilirisasi bahan tambang harus menjadi prioritas utama dan pemerintah seharusnya konsisten dengan maksud tujuan UU Minerba , khususnya terhadap bahan tambang seperti batubara yang digunakan sebagai energi utama oleh PLN sebagai pembangkit listrik hampir mencapai 60% dari jenis pembangkit lainnya. Disisi lain, cadangan batubara besarnya hanya 2,5 % dari cadangan dunia.
“Tapi anehnya kenapa kita sebagai eksportir terbesar didunia ? ,oleh karena itu harus dibatasi ekspornya dan izin Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara /PKP2B yang akan berakhir waktunya agar diserahkan pengelolaaan kepada BUMN Tambang sebagai penugasan darinegara,” katanya.
Regulasi Tidak Kondusif
Di tempat terpisah, DirekturCentre for Indonesian Resources Strategic Studies(Cirrus) Budi Santoso mengatakan, kondisi pertambangan tahun 2018 masih memprihatinkan karena kesempatan-kesempatan yang harusnya dimanfaatkan oleh perusahaan pertambangan terbentur oleh regulasi yang tidak kondusif.
“Tahun 2019 kalau pemerintah masih melmberlakukan kebijakan yang sama maka industri pertambangan tidak lebih baik,” kata Budi kepada kepada Investor Daily di Jakarta, Minggu (18/11).
Meski demikian, dia melihat peluang sektor ini tumbuh tahun depan masih ada karena kenaikan permintaan komoditi produk tambang yang meningkat, dan program pemerintah yang akan membangun infrastruktur dengan anggaran Rp 4400 triliun.
Komoditas yang menarik adalah logam dasar, energi dan mineral jarang yang dipergunakan untuk teknologi maju serta energi terbarukan.
“Tantangannya adalah perusahaan tambang masih menghadapi regulasi yang tidak kondusif dan kondisi nonteknis di lapangan seperti lahan masyarakat dan hutan,” ujarnya.
Menurut dia, sektor pertambangan tetap menjanjikan apabila aturan yang ada dapat mengambil manfaat dari program pemerintah membangun infrastruktur dan pengembangan industri dalam negeri.
Karena itu, dia berharap pemerintah membuat kebijakan yang pro eksplorasi dan membuat insentifpengusaha nasional untuk dapat membangun pengolahan dan pemurnian berkaitan dengan program pemerintah dalam pengembangan industri dan infrastruktur.
“Saya melihat kesan pemerintah setengah hati, padahal kesempatan yang ada dapat dipergunakan untuk mengembangkan kemampuan nasional,” katanya.
Executive Director Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI-ICMA), Hendra Sinadia, mengatakan, membaiknya harga komoditas batubara pada 2018 menjadi peluang besar bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Selain dapat meningkatkan pendapatan negara dari sektor pertambangan batubara, kenaikan harga ini juga membawa berkah bagi pelaku usaha tambang dan industri pendukung serta menciptakan lapangan kerja baru bagi masyarakat sekitar.
Sektor pertambangan mulai menggeliat setelah dalam beberapa tahun terakhir tertekan. Hal itu terlihat pada data Badan Pusat Statistik ( BPS) pada triwulan I-2018 ketika pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,06 persen, sementara industri pertambangan tumbuh 0,74 persen.
Bangkitnya sektor pertambangan tidak terlepas dari tingginya permintaan batubara sebagai sumber energi premier pembangkit tenaga listrik. Maraknya pembangunan dan perubahan pola hidup di masyarakat mendorong kenaikan konsumsi listrik di dalam negeri.
Ketahanan Energi Batubara
Yusri Usman mengatakan, pada bauran energi , batubara masih menjadi andalan utama. Indonesia juga merupakan eksportir batubara terbesar di dunia. Namun, dia mengkritik pemerintah belum memiliki wilayah cadangan negara (WPN) secara masif sehingga ketahanan energi hanya didukung lewat kebijakandomestic market obligation(DMO) batubara.
“Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang menetapkan batasan produksi dan ekspor batubara tidak mampu diimplementasi oleh Kementerian ESDM atas dasar kebutuhan pendapatan negara dan kondisi industri pertambangan yang relatif membesar dan tidak mudah dibatasi,” tambahnya.
Pada kesempatan itu, Yusri juga berharap pemerintah mampu mendorong BUMN Pertambangan tumbuh untuk memperkuat ketahanan energi nasional. Saat ini penguasaan BUMN Pertambangan (PT Bukit Asam) hanya sebatas 5% (25 juta MT) dari total produksi nasional 480 juta MT.
Dia juga menyoroti beredarnya konsep akhir perubahan ke 6 dari Peraturan Pemerintah (PP) nomor 23 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara sebanyak 11 halaman beserta lampiran penjelasannya 3 halaman.
Konsep tersebut dikatakan matang karena sudah melewati proses harmonisasi di Menko Perekonomian dan hanya menunggu waktu yang cocok pada momen yang tepat akan diteken oleh Presiden Jokowi.
Adapun perubahannya meliputi ketentuan pasal 112 ayat 2 dengan menambah 4 angka menjadi ayat 2 a , 2 b , 2 c dan angka 2 d, sehingga perubahan itu berpotensi melanggar Undang Undang Minerba Nomor 4 tahun 2009.
Dia menilai rencana perubahan ke 6 PP terkesan sebagai payung hukum hanya untuk kepentingan mengamodir pengusaha PKP2B generasi pertama yang akan berakhir kontraknya dalam beberapa tahun mendatang daripada untuk kepentingan nasional.
Ada 7 perusahaan besar masuk kelompok tahap pertama antara lain PT Tanito Harum (2019) , PT Arutmin Indonesia (2020), PT Kaltim Prima Coal (2021) , PT Multi Harapan Utama (2022), PT Adaro Indonesia (2022) , PT Kideco Jaya Agung (2022). dan PT Berau Coal pada tahun 2025.
Meski di dalam dasar pertimbangannya tertulis telah menyebutkan untuk memberikan manfaat yang optimal bagi kepentingan nasional dan kepastian berusaha bagi pemegang Kontrak Karya dan PKP2B yang akan berakhir jangka waktunya , sehingga perlu mengatur kembali ketentuan mengenai IUPK ( Izin Usaha Pertambangan Khusus) Operasi Produksi sebagai perpanjangan kelanjutan operasi.
Namun ada juga pertimbangan yang tak tertulis sebagai dasar kebijakan tersebut, yaitu jika dikelola oleh BUMN ditakutkan akan terjadi penurunan pendapatan negara.
“Tentu alasan tersebut terkesan mengada-ada dan bertentangan dengan realitas soal keberhasilan BUMN Tambang PT Inalum yang sudah mendapat pendananaan dari jual bond untuk membayar saham dan menguasai 51% saham PT Freeport Indonesia pada bulan November ini,” kata Yusri .
Dia mengatakan, faktanya hampir 60% pembangkit listrik PLN dan industri lainnya menggunakan energi primer batubara sering mengalami kesulitan mendapat pasokannya ketika harga batubara melambung tinggi, apabila semua PLTU dalam proyek 35.000 MW selesai dibangun tuntas.
Diperkirakan pada tahun 2026 kebutuhan batubara PLN setiap tahunnya sekitar 180 juta metric ton, sehingga PLN ibarat tikus mati dilumbung padi.
Meski Pemerintah telah menerbitkan PP Nomor 8 tahun 2018 merupakan perubahan ke 5 dari PP Nomor 23 Tahun 2010 , yaitu merubah dan menyisipkan Pasal 85 a tentang pemenuhan batubara untuk kepentingan dalam negeri sebagaimana dimaksud Pasal 84 ayat 1, Menteri ESDM menetapkan harga jual batubara tersendiri.
Bahkan perubahan PP 23 yang ke 4 telah menerbitkan PP nomor 1 tahun 2017 sebagai dasar KESDM memberikan IUPK kepada PT Freeport Indonesia, dan nyatanya turunan dari PP tersebut telah melegalkan ekspor mineral mentah yang mengancam proses hilirisasi dalam UU Minerba pada Pasal 102 dan 103.
Adapun poin penting dari rencana perubahan ke 6 produk PP tersebut adalah memberikan kewenangan kepada Menteri ESDM untuk memperpanjang izin PKP2B tanpa proses lelang dan proses perpanjangan dimajukan menjadi paling cepat 5 tahun sebelum berakhir izinnya.
Padahal sebelumnya bisa diperpanjang paling cepat 2 tahun sebelum berakhir waktunya , dan terhadap luasan IUPK Operasi Produksi bisa diatas 15.000 ha.
Dia mengingatkan di dalam UU Minerba Nomor 4 tahun 2009 sudah diatur tegas pada pasal 83 ayat d dengan luasan maksimal Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Operasi Produksi hanya 15.000 ha.
Dia berharap, pemerintah dapat membuat kebijakan semua kontrak PKP2B yang akan berakhir kontraknya, maka lebih baik terhadap potensi yang masih tersisa untuk diserahkan kepada BUMN Tambang sebagai pengelolaannya dengan memberi porsi 10% PI (Participating Interest) kepada BUMD daerah tambang.
“Jika dengan alasan untuk memupuk modal dan berbagi risiko, masih ada ruang dengan porsi paling banyak 39% dari dari sahamnya bisa dilakukan proses B to B oleh BUMN tersebut dengan mekanisme yang fair, transparan dan akuntabel,” katanya. (Imam Suhartadi)