JAKARTA - Pemerintah akan mengatur harga penjualan bijih (ore) nikel dari penambang kepada perusahaan pemilik fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter). Batasan harga tersebut akan diterapkan melalui Harga Patokan Mineral (HPM).
"Pembatasan ini supaya tidak merugikan ke dua belah pihak. Jadi nanti melalui aturan ini ada bumper sekian persen sehingga tidak boleh menjual dengan harga terlalu rendah karena akan merusak harga," ujar Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral pada Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yunus Saefulhak, di Jakarta, Jumat (24/1/2020).
Menurut dia pembatasan harga jual bijih nikel dari produsen kepada konsumen tersebut juga untuk menghidupkan perusahaan smelter. Pengusaha smelter dengan komoditas nikel diizinkan membeli bahan baku murah tapi jangan sampai di bawah harga produksi tambang.
"Kalau harganya terlalu bawah bisa kolaps yang nambang. Jadi perusahaan smelter bisa mendapatkan bahan baku murah tapi jangan sampai di bawah harga pokok produksi tambang," jelasnya.
Dia mengatakan bahwa pada dasarnya HPM tersebut sudah diberlakukan tapi sebatas untuk menetapkan royalti yang harus dibayarkan kepada pemerintah dengan mengacu pada Harga Mineral Acuan (HMA). Namun ke depan aturan tersebut juga akan dibuat untuk menentukan batas harga jual bijih nikel kepada perusahaan smelter.
"Kalau HPM untuk penetapan royalti memang belum wajib dipatuhi. Namun ke depan akan ada sanksi kalau mereka enggak mengikuti," tandas Yunus.
Pihaknya juga akan melibatkan seluruh stakeholders penambang dan pengusaha smelter dalam pembahasan kebijakan tata niaga dan harga nikel, termasuk Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) dan Asosiasi Perusahaan Peleburan dan Pemurnian Indonesia (AP3l).
Di bagian lain, pemerintah juga terus mengevaluasi terkait perkembangan proyek smelter menyusul dampak dari larangan ekspor bijih nikel kadar rendah sejak 1 Januari 2020. Berdasarkan hasil evaluasi bakal ada 52 smelter yang akan beroperasi pada 2022 mendatang atau jumlah tersebut turun dari rencana awal sebanyak 68 smelter.
Menurut Yunus dari 52 smelter tersebut terdapat 17 smelter telah terbangun pada 2019 sisanya sebanyak 35 smelter tersebut diantaranya 2 smelter milik PT Freeport Indonesia dan 2 smelter milik PT Amman Mineral.
Dari seluruh total smelter, di dominasi oleh smelter dengan komoditas nikel sebanyak 29 smelter yang diproyeksikan bakal beroperasi dalam kurun waktu dua tahun mendatang dengan total kapasitas 69 juta ton per tahun. Adapun jumlah smelter dengan komoditas nikel tersebut turun dari target awal sebanyak 41 smelter dengan total kapasitas 96 juta to per tahun. "Proyeksi itu turun karena banyak yang masih ketergantungan dengan ekspor bijih nikel," kata dia.
Sementara pada 2020, imbuhnya, diproyeksikan akan ada 5 smelter yang akan beroperasi. Rinciannya dari jumlah tersebut terdapat 3 proyek smelter dengan komdoitas nikel, 1 smelter dengan komoditas timbal dan 1 smelter dengan komositas mangan.
Berdasarkan laporan Direktorat Jenderal Minerba Kementerian ESDM sejumlah smelter tersebut adalah smelter nikel PT Antam Tbk di Halmahera Timur, Maluku Utara dengan kapasitas input 1,21 juta ton per tahun dengan kapasitas produksi 64.655 ton nikel dalam feronikel (TNi) per tahun; smelter nikel PT Arthabumi Sentra Industri di Morowali, Sulawesi Tengah dengan kapasitas input sebesar 720.000 ton per tahun dengan kapasitas produksi nikel pig iron (NPI) sebesar 72.965 ton per tahun; Lalu smelter timbal PT Kapuas Prima Coal di Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah kapasitas total input sebesar 36.000 ton per tahun dengan kapasitas produksi sebesar 22.924 ton per tahun; smelter mangan PT Putra Indonesia Jaya di Kupang, Nusa Tenggara Timur kapasitas input 103.163 ton per tahun dengan kapasitas produksi sebesar 40.379 ton per tahun; dan smelter nikel PT Elit Kharisma Utama di CIkande, Banten kapasitas total input sebesar 1,2 juta ton dengan total kapasitas produksi sebanyak 97.458 ton per tahun.