a a a a a
logo
Short Landscape Advertisement Short ~blog/2022/2/1/pak prihadi
Bersama Kita Membangun Kemajuan Industri Smelter Nasional
News

Pemerintah Harus Tegas terhadap Perusahaan yang Tak Bangun Smelter

Pemerintah Harus Tegas terhadap Perusahaan yang Tak Bangun Smelter
Jakarta - Lebih dari 15 juta ton nikel kadar rendah dan bauksit dalam jumlah yang sama bakal diekspor menyusul dibukanya kembali ekspor mineral mentah. Hal ini berbanding terbalik dengan semangat pembangunan smelter di dalam negeri, yang sangat bergantung pada jaminan pasokan mineral mentah.

Pengamat Ekonomi Pertambangan dari Universitas Indonesia (UI), Berly Martawardaya, mengungkapkan, argumen paket kebijakan relaksasi ekspor mineral adalah meningkatkan pendapatan negara dan mendorong pertumbuhan perekonomian dengan membuka pintu ekspor mineral mentah merupakan hal yang sulit diterima.

"Kebijakan ini tidak sejalan dengan semangat pasal 103 dan 170 dalam Undang-undang (UU) Minerba yang kedudukannya lebih tinggi dan menetapkan tahun 2014 sebagai deadline," kata Berly, di Jakarta, Jumat (24/3).

Melalui ekspor mineral mentah, lanjut dia, Indonesia cuma memperoleh pendapatan dari bea keluar dan royalti. Sementara, kata Berly, nilai tambah dari produk turunan bahan mineral mentah dan perluasan lapangan pekerjaan dinikmati negara lain. Belum lagi kerusakan lingkungan yang terjadi karena eksploitasi bentang alam oleh praktik tambang yang tidak ramah lingkungan.

"Indonesia perlu melihat manfaat jangka panjang dan nilai tambah yang berkesinambungan dari pengolahan dan pemurnian mineral (smelter) untuk kepentingan nasional. Jika tidak memenuhi persyaratan, sebaiknya tidak usah diberi izin ekspor," katanya.

Pengamat Hukum Pertambangan dari Universitas Tarumanegara (Untar), Ahmad Redi, menambahkan, mengacu pada amanat UU Minerba, izin ekspor mineral mentah bagi perusahaan yang belum membangun smelter sebagai tindakan ilegal.

"Pada periode 2014 lalu, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 tahun 2015 yang memberi dispensasi ekspor produk olahan selama 3 tahun," kata Ahmad Redi.

Dispensasi ekspor tersebut, lanjut dia, ternyata tidak dimanfaatkan perusahaan untuk membangun smelter. Pemerintah lalu kembali membuka keran ekspor untuk lima tahun ke depan. Sayangnya, tidak ada jaminan yang jelas relaksasi itu dapat memacu pembangunan smelter baru.

"Kalau pun smelter dibangun, tetap sia-sia dan merugikan karena masih diperkenankan ekspor dalam lima tahun mendatang," kata dia.

Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara, mengatakan, sebaiknya pemerintah tidak usah memberikan izin ekspor dan jalankan UU Minerba secara konsisten.

Harus ada perubahan paradigma dari perusahaan tambang di Indonesia untuk membangun smelter dan tidak berharap bisa melakukan ekspor. Ketiadaan niat untuk membangun smelter sesuai amanat UU Minerba jelas sangat merugikan negara.

Ahmad Redi sepakat, bahwa satu-satunya cara adalah konsisten menerapkan kebijakan amanat UU Minerba. Tidak boleh ada lagi ekspor mineral mentah.

"Jika itu diberikan harusnya hanya untuk perusahaan yang sudah membangun smelter baik itu dibangun sendiri atau bekerja sama dengan perusahaan lain," tandasnya.

Wakil Ketua Asosiasi Perusahaan Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I), Jonathan Handojo, mengatakan, konsistensi aturan dan iklim investasi yang mendukung bakal mendorong kontribusi optimal dari smelter yang sudah dibangun. Perubahan kebijakan terkait larangan ekspor yang ditetapkan pemerintah sangat berdampak negatif terhadap rencana pembangunan smelter.

"Harusnya pemerintah tidak memberikan kompromi terhadap berbagai pihak yang tidak mampu merealisasikan komitmen membangun smelter sesuai dengan tenggang waktu yang sudah diberikan," kata Jonathan.