JAKARTA, investor.id - Pemerintah secara resmi melarang ekspor bijih nikel pada awal 2020, lebih cepat dari ketentuan relaksasi ekspor sebelumnya yakni pada 2022. Hal itu seiring dengan keluarnya peraturan yang diterbitkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan. Dalam beleid itu menyebutkan izin ekspor nikel mentah diberikan hingga akhir 2019.
Sebelumnya, ekspor bijih nikel sudah dilarang pemerintah pada awal 2014 silam. Namun pada 2017 pemerintah memberikan relaksasi melalui Peraturan Menteri ESDM No. 5 Tahun 2017. Dalam beleid itu bijih nikel kadar rendah diizinkan ekspor selama lima tahun alias hingga 2022. Izin ekspor pun diberikan kepada perusahaan tambang yang membangun fasilitas pemurnian mineral (smelter) nikel. Dengan begitu hasil penjualan ekspor menjadi penyokong pembangunan smelter.
Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama Kementerian ESDM Agung Pribadi mengatakan larangan ekspor nikel telah diterbitkan oleh Menteri ESDM. Namun dia enggan membeberkan isi peraturan tersebut. Menurutnya akan ada penjelasan secara komprehensif pada Senin (2/9). "Besok Senin ada konferensi pers mengenai hal itu," kata Agung di Jakarta, akhir pekan lalu.
Menanggapi hal itu, Sekretaris Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey mengatakan relaksasi ekspor bijih nikel diberikan bagi pelaku tambang yang membangun smelter. Dengan demikian, kata dia, bila relaksasi itu dipercepat maka akan berpengaruh pada proses pembangunan smelter tersebut. Pasalnya kegiatan ekspor ore nikel menjadi modal pembangunan. Oleh sebab itu pihaknya meminta pemerintah konsisten dalam menerapkan kebijakan relaksasi ore hingga 2022.
"Bangun smelter dari 2017 sampai 2022, di 2019 pemerintah bilang eh enggak boleh (ekspor), padahal baru bangun pondasi. Inilah yang kita minta pemerintah komit, karena kami sudah melakukan kegiatan pembangunan. Modal dari mana? Kuota ekspor," ujarnya.
Meidy menuturkan, sebanyak 51 perusahaan yang sedang menggarap smelter di dalam negeri. Dari jumlah tersebut sekitar 15 smelter sudah beroperasi. Artiannya masih ada 36 smelter yang bakal terkena imbas bila relaksasi ekspor ore dipercepat. Padahal kepastian investasi sangat diperlukan bagi pelaku usaha. "Kalau sudah ada (kebijakan larangan ekspor) kita juga menyerah minimal kita sudah bersuara," tuturnya.
Dikatakannya smelter yang sudah beroperasi saat ini sebenarnya bisa menyerap bijih nikel. Namun dia menyebut tata niaga penjualan bijih nikel dalam negeri kurang menarik. Dari faktor harga misalnya, harga jual bijih nikel di pasar domestik lebih rendah ketimbang ekspor. Harga di dalam negeri sekitar US$11/ton sedangkan pasar ekspor dibandrol US$34/ton.
Selain itu tingkat kadar bijih nikel pun berbeda antara pasar dalam negeri dan luar negeri. Untuk pasar domestik menyerap ore nikel dengan kadar 1,8% ke atas. Bila kadar lebih rendah maka harga pun semakin terkikis. Sementara penjualan bijih nikel di pasar ekspor tidak boleh melebihi 1,7% sebagaimana diatur pemerintah. Belum lagi dalam proses pembayarannya butuh waktu berbulan-bulan. Sementara jika diekspor para pelaku usaha bisa mendapatkan Letter of Credit (LOC) sehingga bisa kembali mendapatkan dana untuk investasi atau kegiatan operasional selanjutnya.
Namun hal berbeda dikemukakan pendiri Asosiasi Perusahaan Pengolahan dan Pemurnian Mineral Indonesia (AP3I) Jonatan Handoyo. Dia sejak awal justru menyayangkan sikap pemerintah yang memberikan relaksasi ekspor nikel mentah. Menurutnya pemberian relaksasi hanya membuat bijih nikel semakin banyak dikeruk dan dikirim ke luar negeri tanpa proses peningkatan nilai tambah. Menurutnya larangan ekspor tersebut seharusnya diberikan dalam waktu singkat.
"Menurut pendapat saya, lebih cepat ditutup. Pemerintah mengambil langkah yang paling betul karena sudah terlambat 5 tahun," tegasnya.