a a a a a
logo
Short Landscape Advertisement Short ~blog/2022/2/1/pak prihadi
Bersama Kita Membangun Kemajuan Industri Smelter Nasional
News

Pemerintah Targetkan Pengoperasional 48 Smelter Pada 2024

JAKARTA – Kementerian ESDM menargetkan 48 proyek smelter nikel bisa beroperasi pada 2024, terlepas dari kendala yang dialami para investor akibat pandemi covid-19 maupun kesulitan lainnya.

“Memang saat ini ada, khususnya smelter nikel, ada 48 proyek yang kita harapkan bisa selesai di 2024,” ujar Menteri ESDM Arifin Tasrif dalam siaran persnya, Senin (28/7).

Maka dari itu, Arifin mengatakan, Kementerian ESDM masih berupaya menjembatani kebutuhan para investor tersebut untuk dapat merealisasikan proyek smelter yang sudah direncanakan.

Tujuannya untuk mewujudkan cita-cita Indonesia di sektor mineral dan batubara, yakni membangun industri hilirisasi dari hulu ke hilir yang memberikan nilai tambah tinggi, dapat menyerap tenaga kerja, serta hal positif lain yang bisa didapat Indonesia.

“Jadi Kementerian ESDM mendukung penuh program hilirisasi yang memang sudah kita canangkan. Mudah-mudahan dalam waktu yang sudah kita targetkan cita-cita ini bisa kita capai,” tuturnya.

Hilirisasi di sektor minerba telah menjadi amanat Undang-Undang (UU) Nomor 3 tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Kewajiban hilirisasi yang melekat pada industri pengolahan sumber-sumber mineral tidak lain, untuk memberikan nilai tambah bagi hasil tambang.

“Memang kewajiban dari industri pertambangan adalah membangun proses hilirisasi, jadi wajib membangun smelter,” tegas Arifin.

Salah satu proses yang dapat dilakukan untuk memberikan nilai tambah, khususnya bagi bijih nikel berkadar rendah, adalah dengan proses hidrometalurgi. Proses ini dapat mengolah bijih nikel dengan kadar rendah menjadi logam nikel murni.

Saat ini, ujar Arifin, ada proses hidrometalurgi, yang tahap yang bisa memproses bijih nikel berkadar rendah.

“Waktu belum ada larangan ekspor, sulit untuk melakukan kontrol kadar nikel yang kita ekspor. Ke depannya sudah akan dibagi, untuk nikel jenis limonit akan diproses dengan hidrometalurgi, yang berkadar lebih besar dari 1,8% bisa dicampur dengan yang rendah. Sehingga bisa menambah kemampuan industri Indonesia untuk berproduksi,” ujar Arifin.

Ia juga menjelaskan bahwa Indonesia memiliki cadangan nikel sebanyak 21 juta ton yang bisa bertahan lebih dari 30 tahun. Adapun 48 proyek smelter nikel berlokasi di Banten, Jawa Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, dan Maluku Utara. Sebanyak 11 smelter di antaranya sudah beroperasi, sementara 19 lainnya sedang dalam tahap konstruksi.

Perlu diketahui, khusus untuk smelter nikel kadar rendah akan menghasilkan produk MHP atau mixed hydroxide precipitate, yang merupakan prekursor untuk memproduksi baterai.

“Ada rencana 6 smelter dan kemungkinan 1 smelter tambahan dari konsorsium BUMN. Seluruhnya kita harapkan dapat beroperasi pada 2024, dan full capacity dapat dilakukan 2-3 tahun setelah beroperasi,” tukas Arifin.

Pembangunan smelter untuk hilirisasi nikel dapat menjadi dasar pendukung pengembangan mobil listrik di Indonesia. Pasalnya, nikel dinilai sebagai bahan dasar baterai mobil listrik yang paling memungkinkan untuk diproduksi di Indonesia.

Direktur Aneka Energi Baru Terbarukan Kementerian ESDM Harris Yahya menegaskan, baterai yang paling potensial digunakan untuk mobil listrik produksi Indonesia adalah yang berbasis lithium nikel. Meski hingga saat ini, pengambil kebijakan di sektor sumber daya mineral Indonesia itu masih belum menetapkan baterai apa yang akan diproduksi.

Mengingat, ada banyak jenis baterai lithium yang dapat dipakai sebagai sumber daya mobil listrik. Di antaranya, Nickel Manganese Cobalt Oxide atau NMC, Lithium Iron Phosphate atau LIP, dan Lithium nikel kobalt aluminium oksida (NCA).

“Namun sekarang mungkin yang bisa kita kerjakan untuk bisa digunakan dengan juga memperhatikan sumber daya yang kita punya adalah yang NMC dan NCA yang berbasis nikel tadi. Sedangkan yang berbasis iron phosphate mungkin di prioritas kedua,” ujar Harris dalam konferensi pers Update Kinerja Subsektor EBTKE yang Validnews simak, Senin (28/7).

Ia menjelaskan, selain pertimbangan ketersedian sumber daya nikel di Indonesia, baterai jenis NMC dan NCA juga dinilai punya spesifikasi energi yang. Dilihat dari jumlah energi listrik yang dihasilkan dibandingkan berat atau volume dari baterai itu sendiri.

“Lalu performance juga bagus, lifetime tidak masuk dalam yang paling tinggi tapi juga bukan yang jelek, jadi mungkin itu dipertimbangkan untuk mobil listrik,” pungkas Harry. (Zsasya Senorita)