Pemerintah Tinjau Ulang Kebijakan Eks Menteri ESDM Arcandra
Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly mengatakan pemerintah akan mengkaji kembali keputusan atau kebijakan apa saja yang telah diambil Arcandra Tahar ketika menjabat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) selama 20 hari.
“Belum tahu, nanti kita lihat, dikaji dulu,” kata Yasonna kepada satuharapan.com di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, hari Rabu (17/8) siang.
Arcandra diketahui memiliki dua paspor yaitu Amerika Serikat (AS) dan Indonesia dan diberhentikan dengan hormat oleh Presiden Joko Widodo, pada hari Senin (15/8). Salah satu kebijakan Arcandra yang dipersoalkan adalah menerbitkan Surat Keputusan Perpanjangan Izin Ekspor Konsentrat PT Freeport Indonesia pada awal Agustus lalu.
Sejumlah pihak persoalkan keputusan Arcandra tersebut yang dinilai bermasalah. Yasonna meminta agar persoalan tersebut diserahkan kepada Luhut Binsar Pandjaitan sebagai pelaksana tugas Menteri ESDM.
“Biarkan urusan ESDM diurus oleh Menko Maritim. Tanya ke Menko Maritim, dia (Luhut) kan Menko. Dia kaji dulu kebijakan apa yang sudah diambil (Arcandra). Kita kan belum tahu kan,” kata Yasonna seraya bergegas meninggalkan Istana usai Upacara Kemerdekaan Indonesia.
Tinjau Ulang
Sebelumnya, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk segera meninjau ulang Surat Keputusan Perpanjangan Izin Ekspor Konsentrat PT Freeport Indonesia yang dikeluarkan oleh mantan Menteri ESDM, Arcandra Tahar, dalam 20 hari jabatannya sebagai Menteri ESDM.
“Keputusan Presiden untuk mencopot Arcandra dari jabatannya sebagai Menteri ESDM karena dugaan pelanggaran status kewarganegaraan harus ditindaklanjuti dengan peninjauan ulang salah satu produk keputusan Arcandra mengenai perpanjangan izin ekspor konsentrat PT Freeport,” kata Koordinator Jatam, Merah Johansyah di Jakarta, hari Senin (15/8).
Merah menambahkan, perpanjangan izin yang dimaksud dikeluarkan pada saat Arcandra terindikasi tidak memenuhi kualifikasi untuk menjabat sebagai menteri karena diduga memiliki dua status kewarganegaraan, Indonesia dan Amerika Serikat.
Sikap konkret Presiden Jokowi, kata Merah, menjadi penting sebagai bentuk tanggungjawab atas kelalaian dalam melakukan seleksi menteri-menterinya. Selain itu, sikap tegas ini diperlukan untuk mengakhiri rangkaian pengingkaran terhadap kehendak Undang-undang.
Menurut Merah, jika pemerintah konsisten menegakkan hukum, maka sedari awal Freeport tidak diperbolehkan melakukan ekspor konsentrat sebelum membangun smelter sebagimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Jatam mencatat perpanjangan izin ekspor menjadi modus untuk meningkatkan produksi dan penjualan demi meningkatkan keuntungan Freeport. Pada perpanjangan izin ekspor ke-3, Freeport meningkatkan produksi dan penjualannya menjadi 775.000 ton dari hanya 580.000 ton sebelumnya.
Begitu juga saat pemerintah memberikan kembali izin ekspor yang ke-4, Freeport kembali memanfaatkan fasilitas perpanjangan izin ini untuk kembali meningkatkan produksi dan penjualannya menjadi 1,03 juta ton.
“Dua minggu menjabat sebagai Menteri ESDM, Arcandra memberikan perpanjangan izin ekspor untuk yang ke-5 bagi Freeport, mulai 9 Agustus 2016 hingga 11 Januari 2016. Perpanjangan Izin Ekspor konsentrat kali ini dimanfaatkan oleh Freeport untuk meningkatkan produksi hingga 1,4 juta ton,” kata Merah.
Totalnya, melalui fasilitas perpanjangan izin ekspor yang diperoleh sejak 2014 hingga Januari 2017 nanti, Freeport mengekspor 4,55 juta ton konsentrat atas “jasa” kementerian ESDM yang secara bersama-sama melanggar UU No. 4 Tahun 2009.
Jatam mencatat juga dalam kurun 2014-2015, melalui perpanjangan Izin Ekspor Konsentrat ini Freeport telah memproduksi 1.016 juta pon tembaga dan 1.663.000 t oz (Troy Ons) emas. Total uang yang diperoleh Freeport dari dua tahun menikmati fasilitas perpanjangan izin ekspor mencapai USD 256 miliar atau Rp 3.328 triliun. Angka tersebut setara dua kali APBN Indonesia.
Lebih lanjut, Merah mengatakan berbagai persoalan kontroversial melingkupi relasi pemerintah dengan PT. Freeport, di antaranya kasus "Papa Minta Saham". Belum lagi persoalan keselamatan masyarakat, pelanggaran HAM dan perusakan lingkungan hidup dalam kaitannya dengan aktivitas penambangan PT. Freeport di Papua.
Jatam meminta Pemerintah harus mampu menjadikan momen ini untuk melakukan evaluasi menyeluruh atas aktivitas PT Freeport Indonesia dimulai dengan melakukan moratorium operasi PT Freeport.
“Jika Presiden Jokowi tidak menindaklanjuti pencopotan Arcandra dengan langkah serius, meninjau ulang perpanjangan izin ekspor dan melakukan evaluasi menyeluruh, maka seluruh drama ini hanya menguntungkan PT. Freeport Indonesia dan investasi Amerika,” katanya.