REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah berencana merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 101 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Adapun revisi ini dengan memperhatikan aspek lingkungan dan kaidah internasional terutama pemanfaatan slag atau limbah tambah hasil olahan smelter.
Direktur Jendral Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika Kementerian Perindustrian Harjanto mengatakan slag bisa dimanfaatkan sebagai barang bernilai tambah dan tidak lagi dikategorikan sebagai B3. “Mengenai slag baja sama nikel. Jadi ke depannya pengaturannya kita sesuaikan dengan kaidah-kaidah internasional,” ujarnya kepada wartawan di Jakarta, Senin (16/9).
Menurutnya selama ini slag memang tidak dimanfaatkan dan hanya ditumpuk karena dianggap sebagai limbah B3 berdasarkan PP 101/2014. “Ada Bussel Convention yang bisa kita pakai sebagai norma internasional dan kita akan melihat ke PP nya atau Permen Lingkungan Hidup,” ucapnya.
Meski pemerintah tengah mendorong kemajuan perindustrian, menurutnya ketentuan internasional dan lingkungan hidup tetap menjadi perhatian. Aturan terkait ini menurutnya akan dimasukkan dalam peraturan menteri LHK.
"Sepanjang produk itu diterima standar lingkungan dan sebagainya, disimplifikasilah aturan yang ada, sehingga itu tidak menjadi beban untuk industri itu sendiri," jelasnya.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, setiap tahunnya slag menumpuk 20 juta ton dan karena tidak bisa di manfaatkan dan pada 2021 akan menumpuk menjadi 35 juta ton per tahun.
Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Ditjen Minela dan Batu Bara Kementerian ESDM Yunus Saefulhak menjelaskan slag nikel dan baja bisa dimanfaatkan untuk industri melalui izin pemanfaatan. Namun ada terlalu banyak perizinan dalam pemanfaatan slag dan penyederhanannya belum terlihat.
"Industri itu bisa buat batako, untuk konstruksi, lebih kepada pekerjaan umum lah. Satu lagi bisa ditimbun ke lubang tambang sebagai penataan reklamasi," ucapnya.
Sementara Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun Berbahaya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Rosa Vivien Ratnawati menambahkan pihaknya akan meninjau lebih jauh mengenai dampak limbah yang nantinya dikeluarkan dari kategori B3.
"Kita buka besar investasi masuk ke Indonesia. Dari KLHK, tentu saja mendukung kebijakan itu dan menjaga agar lingkungan hidupnya tetap aman,” ucapnya.
Menurut Rosa pihaknya juga mendorong masuknya investasi ke Indonesia dengan tetap memperhatikan kaidah lingkungan hidup. Namun, Rosa belum dapat memastikan kapan aturan slag nikel dan baja akan rampung, diharapkan pada tahun ini aturan sudah terbit.
"Investasi-investasi yang masuk kan dinamis. Ada yang belum diatur dalam peraturan-peraturan lingkungan hidup. Kami akan melengkapi standarnya kemudian bagaimana pengamanan terhadap lingkungan akan diatur dalam peraturan menteri LHK secara detil," kata Rosa.
Ke depan, pihaknya akan memastikan teknologi yang digunakan dalam mengolah slag aman bagi lingkungan. Makanya KLHK berharap penggunaan teknologi pengolahan slag bisa mengantongi izin lingkungan sebelum beroperasi.
Slag termasuk dalam kategori limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), sehingga tidak bisa dimanfaatkan. Namun negara lain seperti Kanada dan Amerika Serikat slag bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku bangunan, bahan pengerasan jalan dan bahan baku pembuatan pupuk tanaman.
Sepanjang tahun ini, jumlah slag yang telah tertumpuk di smelter telah mencapai 17 juta ton. Slag tersebut berasal dari beberapa perusahaan seperti PT Aneka Tambang (Persero), PT Megah Surya Pertiwi, PT Virtue Dragon dan PT Vale Indonesia Tbk.