a a a a a
logo
Short Landscape Advertisement Short ~blog/2022/2/1/pak prihadi
Bersama Kita Membangun Kemajuan Industri Smelter Nasional
News

Pemilik Smelter Disebut Masih Langgar Aturan HPM Nikel

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah telah menerbitkan aturan mengenai Harga Patokan Mineral (HPM) yang harus dijadikan patokan harga jual beli nikel domestik. Aturan tersebut tertuang di dalam Peraturan Menteri ESDM No.11 tahun 2020 tentang Tata Cara Penetapan Harga Patokan Penjualan Mineral Logam dan Batu bara. Namun sayangnya aturan ini belum ditegakkan.
Hal itu disampaikan Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto kepada wartawan pada Selasa (22/09/2020).

Oleh karena itu, Sugeng mengatakan Komisi VII mendesak kepada seluruh pihak agar bisa mematuhi paraturan yang sudah ditetapkan.



"Kita meminta kepada semua pihak, mendesak pemerintah agar semua pihak mematuhi HPM. Selama ini menurut catatan berbagai pihak, termasuk lagi-lagi Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) peraturan ini tidak jalan," paparnya kepada wartawan di Gedung Parlemen RI, Selasa, (22/09/2020).

Baca: Tim Satgas Harga Nikel Terbentuk, Sudah Ada Temuan?
Sugeng mengatakan pihaknya akan menindaklanjuti hal ini dalam bentuk tindakan pengawasan. Jika dibutuhkan, imbuhnya, maka akan dilakukan rapat lintas komisi, yakni melibatkan Komisi VII, Komisi III berkaitan dengan hukum, dan Komisi XI berkaitan dengan pendapatan negara.

Bahkan, Sugeng mengatakan tidak menutup kemungkinan untuk pembentukan panitia khusus (Pansus).

"Justru itulah (Permen sudah ada). Maka kami sepakat akan tindaklanjuti dalam bentuk pengawasan-pengawasan. Kalau nanti ada kesepakatan, membentuk Pansus, kenapa tidak," tuturnya.

Selain masalah HPM, Komisi VII juga menyoroti kewajiban smelter untuk menyerap nikel dengan kadar bijih nikel rendah.

"Intinya adalah Panja Minerba meminta atau mendesak pemerintah agar seluruh pihak mematuhi peraturan-peraturan yang sudah digariskan, misalnya ada sebuah peraturan bahwa smelter berkewajiban menyerap bijih nikel di bawah 1,7%," jelasnya.

Sugeng mengatakan pihak APNI menyampaikan jika pihak smelter hanya menyerap bijih nikel dengan kadar di atas 1,8%, bahkan terakhir ada yang meminta dengan kadar 2%. Lalu terkait surveyor yang dipakai oleh smelter, menurutnya semestinya berasal dari pemerintah. Akan tetapi dalam praktiknya, imbuhnya, masih banyak yang menggunakan surveyor di luar dari yang disediakan pemerintah.

"Kami mendesak pemerintah agar mematuhi atau menjalankan fungsi law enforcement (penegakan hukum) terhadap peraturan yang ada," ujarnya.

Seperti diketahui, Menteri ESDM telah menerbitkan Peraturan Menteri ESDM No.11 tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri ESDM No.07 tahun 2017 tentang Tata Cara Penetapan Harga Patokan Penjualan Mineral Logam dan Batu bara yang diundangkan pada 14 April 2020.

Regulasi ini menyebutkan bahwa HPM logam merupakan harga batas bawah dalam penghitungan kewajiban pembayaran iuran produksi oleh pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi. HPM logam ini juga menjadi acuan harga penjualan bagi pemegang IUP dan IUPK untuk penjualan bijih nikel.

Namun apabila harga transaksi lebih rendah dari HPM logam tersebut, maka penjualan dapat dilakukan di bawah HPM dengan selisih paling tinggi 3% dari HPM tersebut. Namun apabila harga transaksi lebih tinggi dari HPM, maka penjualan wajib mengikuti harga transaksi di atas HPM logam tersebut.

Peraturan ini berlaku 30 hari sejak diundangkannya. Artinya, mulai berlaku efektif sejak 14 Mei 2020.

Sebelumnya, Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM Yunus Saefulhak mengatakan HPM yang ditetapkan pemerintah berada di bawah harga pasar internasional. Tujuannya yaitu untuk mengembangkan investasi di bidang smelter di dalam negeri. Namun tidak juga berarti harga terlalu rendah karena ini untuk melindungi keberlanjutan usaha dan profitabilitas penambang.

"Ya US$ 30-32 per ton itu sudah cukup adil karena sudah memperhatikan yang namanya pengelolaan good mining practice," tuturnya di Kantor Kementerian ESDM, Jumat, (07/08/2020).