Pendapatan Timah Naik 19,85%, Laba Bersih Tumbuh 5,76%
JAKARTA − PT Timah Tbk (TINS) membukukan kenaikan total pendapatan sebesar 19,85% menjadi Rp 11,05 triliun pada 2018 dibandingkan tahun sebelumnya Rp 9,22 triliun. Adapun laba bersih mencapai Rp 531,36 miliar, tumbuh 5,76% dari Rp 502,43 miliar.
Sekretaris Perusahaan Timah Amin Haris Sugiarto menyatakan, pendapatan perusahaan sebanyak 91,88% bersumber dari bisnis logam timah. Sementara, bisnis produk hilir (tin chemical) menyumbang pendapatan sebesar 3,87% dan bisnis rumah sakit berkontribusi 2,19% terhadap total pendapatan Timah.
Tahun lalu, perseroan mencatat beban pokok pendapatan naik 21,85% dari Rp 7,69 triliun menjadi Rp 9,37 triliun.
“Namun, penurunan harga bahan bakar jelang akhir tahun lalu menjadi angin segar yang memberikan dampak positif terhadap profitabilitas perusahaan,” ujar Amin dalam keterangan resmi di Jakarta, akhir pekan lalu.
Senada dengan itu, pada akhir 2018, anggota Holding Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Tambang itu pun meraih laba bersih sebesar Rp 531,36 miliar. Padahal, sampai kuartal III-2018, Timah justru mencatatkan penurunan laba bersih 14,98% dari Rp 300,57 miliar menjadi Rp 255,54 miliar.
Mengenai kinerja akhir tahun 2018, Amin mengemukakan, Timah membukukan produksi logam sebanyak 33.444 metrik ton (Mt), tumbuh 10,56% dari posisi sebelumnya yang sebanyak 30.249 Mt. Kemudian, perseroan turut mencatatkan, penjualan logam timah sebanyak 33.818, naik 13,05% dari realisasi 29.914 Mt pada periode sama 2017.
Untuk prospek bisnis pada 2019, Amin menyatakan, manajemen Timah optimistis dapat meraih kembali peningkatan kinerja. Hal tersebut, dia akui, juga tidak terlepas dari dukungan regulasi pemerintah yang berupaya menertibkan penambangan illegal dan mewajibkan pelaporan neraca cadangan yang telah diverifikasi oleh pihak yang kompeten.
Sebelumnya, kepada Investor Daily, Amin mengakui bahwa Timah mengincar total pendapatan dapat berkisar Rp 12 triliun pada 2019. Sementara itu, Direktur Keuangan Timah Emil Ermindra mengungkapkan, perseroan mengincar laba bersih minimal Rp 1,2 triliun.
Selanjutnya, dia mengemukakan, dalam rencana kerja dan anggaran perusahaan (RKAP) perseroan juga rencana kenaikan produksi minimal 38 ribu Mt pada 2019, walaupun perseroan masih terbuka untuk peluang produksi yang lebih besar selama kesiapan dan kekuatan memadai.
Terkait potensi peningkatan produksi yang lebih besar, dia memaparkan, kisarannya mencapai 60 ribu Mt pada 2019. Peluang produksi hingga 60 ribu Mt dapat dicapai jika Timah dapat mengembangkan bisnis secara organik melalui penerapan teknologi fuming dan ausmelt.
“Selain itu, dengan catatan bahwa kami bisa melakukan pertumbuhan anorganik melalui kerja sama dengan perusahaan swasta dalam skema sewa smelter untuk peningkatan produksi,” ungkap Emil.
Ekspansi di Nigeria
Sementara itu, perusahaan patungan (joint venture/JV) milik Timah dan Topwide Ventures Ltd di Nigeria akan mulai memproduksi bijih timah pada 2019. Target awal, Timah memproyeksikan JV tersebut dapat memproduksi bijih timah sebanyak 5.000 metrik ton (MT).
Direktur Keuangan Timah Emil Ermindra menyatakan, kepemilikan saham antara perseroan dan Topwide di perusahaan JV seimbang, yakni 50-50%. Pendirian JV tersebut merupakan tindak lanjut dari penandatanganan akad kerja sama pada Agustus 2017 mengenai rencana eksploitasi timah di Nigeria.
Kedua pihak turut sepakat untuk membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral (smelter).
“Saat ini, kami (Timah dan Topwide) telah menyelesaikan studi kelayakan dan menuntaskan pembentukan JV, termasuk alternatif jenis aktivitas usaha lainnya,” kata Emil kepada Investor Daily. (dka)