Pengamat: Capaian Pembangunan Smelter Freeport Tidak Ideal
Jakarta, TAMBANG – Capaian pembangunan fasilitas smelter PT Freeport Indonesia (PTFI) sebesar 2,4 persen yang dianggap melampaui target 2,3 persen pada 2017 lalu, dinilai jauh dari angka ideal.
Pengamat Hukum Sumber Daya Universitas Tarumanegara (Untar), Ahmad Redi, mengungkapkan, capaian 2,4 persen yang membuat Freeport mendapatkan rekomendasi ekspor konsentrat tembaga sebesar 1,2 juta ton, hanya angka normatif semata.
“Secara tertulis memang sudah mencapai target, tapi angka 2,4 persen itu jauh dari angka ideal. Bisa dibilang pencapaian ini hanya normatif saja,” kata Redi kepada tambang.co.id, Selasa (20/2).
Redi memperkirakan, jika sampai tahun ini pembangunan smelter hanya 2,4 persen, maka di tahun 2021, saat Kontrak Karya (KK) Freeport berakhir, smelter tersebut tidak akan selesai pembangunannya.
“2021 nanti pesimistis kalau sampai saat ini hanya 2,4 persen,” tegas Redi.
Redi juga menilai, pemerintah semakin terlihat tidak berkutik dihadapan Freeport. Hal ini bisa diilhat dari mudahnya pemerintah memberikan keringanan target pembangunan smelter. Serta pemberian izin ekspor konsentrat tembaga sebesar 1,2 juta tahun 2018. Mirisnya, ekspor kali ini, lebih besar dari tahun sebelumnya sebesar 1,1 juta ton.
“Ini menunjukkan pemerintah semakin tidak bisa berkutik di hadapan Freepot. Pemerintah memberikan keistimewaan kepada Freeport padahal (kewajiban pembangunan) smelter tidak terlaksana (dengan ideal),” tandasnya.
Redi juga memaparkan, pemerintah menciderai komitmen dalam UU Minerba Nomor 4/2009 yang mengatur tentang kewajiban pemurnian dalam negeri. Meskipun UU tersebut sudah diatur ulang dalam PP Nomor 1/2017 yang membuka kran ekspor, tapi komitmen pembangunan smelter sebagai syarat rekomendasi ekspor tidak diimplementasikan dengan baik.
“Kita berharap apa yang sudah diatur itu, seharusnya bisa diimplementasikan dengan baik,” keluhnya.
Sementara itu, Direktur Utama PT Garuda Berjangka sekaligus pengamat komoditas, Ibrahim, menilai, penambahan kuota Freeport merupakan hal yang wajar, mengingat permintaan tembaga dunia sedang melambung tinggi.
Menurutnya, permintaan tersebut dipicu oleh pembangunan ekonomi yang sedang melesat di negara-negara maju, terutama Amerika Serikat (AS). Pada kongres AS, disetujui pembangunan infrastruktur mencapai nilai USD1,5 triliun.
“Saya percaya pemerintah menambahkan kuota sudah sesuai koridor. Mereka pasti punya konsultan ekonomi, yang menyadari permintaan tembaga sedang menguat,” kata Ibrahim kepada tambang.co.id, Selasa (20/2).
Diproyeksikan sepanjang tahun 2018, harga tembaga diperkirakan bisa menembus level USD8.000 per ton. Penguatan ini diyakinkan oleh keputusan kongres AS soal pembangunan infrastruktur tersebut. Seperti diketahui, tembaga menjadi salah satu komoditas penting dalam proyek pembangunan infrastruktur, sehingga penguatan akan terus bergerak.
“Hingga malam tadi (19/2), harga tembaga berada di USD7.000 per ton. Perkiraan akan terus bergerak hingga USD8.000 per ton,” tandasnya.
Selain Amerika, Ibrahim juga menyinggung meningkatnya perekonomian di negara lainnya. Berdasarkan data Caixin Manufacturing PMI, perekonomian China meningkat positif. lalu Uni Eropa, Inggris, dan Jepang yang akan mengurangi stimulusnya juga bakal menjadi bukti membaiknya perekonomian.
“Di 2018, perekonomian global akan naik 10 persen. Ini bukan angka yang kecil,” pungkasnya.