Jakarta, CNN Indonesia -- Pengamat INDEF menyoroti sejumlah poin ganjil dalam Revisi Undang-undang (RUU) tentang Mineral dan Batu Bara (Minerba). Mereka mempertanyakan tujuan dan latar belakang kemunculan sejumlah poin-poin yang terkait sektor pertambangan itu.
Direktur Riset INDEF Berly Martawardaya mengatakan masyarakat tetap harus mengawal pembahasan RUU Minerba karena sektor ini menyangkut kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) yang seharusnya dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan masyarakat.
Seperti diketahui, DPR tetap melakukan pembahasan sejumlah RUU pada masa sidang III di tengah penyebaran pandemi virus corona (covid-19). Salah satunya, RUU Minerba yang menuai kontroversi di masyarakat.
"Jangan sampai di tengah Covid-19, UU yang penting lewat sehingga hasilnya UU yang lemah dan tidak meningkatkan kesejahteraan rakyat," ujarnya melalui video conference, Rabu (15/4).
Pertama, ia menyoroti Pasal 4,7, dan 8 RUU Minerba. Menurutnya, pasal-pasal tersebut menggeser kewenangan perizinan pertambangan kepada pemerintah pusat. Ia menjelaskan pada 1999 perizinan tambang merupakan wewenang pemerintah daerah. Lalu, dialihkan kepada pemerintah provinsi pada 2014 di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
"Ini perlu diskusi yang mendalam apakah ini (perizinan di pemprov) bukan bagian penting dari desentralisasi? Apakah sudah ada evaluasi? Apakah eksekusi perizinan minerba di pemprov tidak memuaskan sehingga perlu digeser ke pusat?" ujarnya.
Kedua, pasal 45 yang menyatakan jika mineral lain yang tergali dalam masa eksplorasi tidak kena royalti. Menurutnya, pemerintah perlu membuat batasan tertentu besaran mineral ikutan yang tidak kena royalti lantaran bisa menjadi celah pelanggaran hukum. Ia khawatir perusahaan tambang akan memanfaatkan masa eksplorasi untuk menggali banyak mineral.
"Biasanya eksplorasi hanya untuk dites, intinya pemetaan kandungan. Jangan justru diam-diam fase sudah masuk eksploitasi tapi tidak kena royalti sehingga ada potensi kehilangan pendapatan negara," katanya. Ketiga, pasal 128A terkait pemberian insentif kepada perusahaan yang melakukan pemurnian. Menurutnya, pemerintah harus memastikan pemberian insentif itu tidak tumpang tindih dengan insentif lainnya.
"Kami dorong perusahaan membuat pemurnian tapi jangan berlebihan malah menjadi give away, perlu di detailkan berapa besar insentif terkait dengan kapasitas smelter," tuturnya.
Sementara itu, Ekonom Senior Indef Faisal Basri menyoroti pasal 169A dan 169B. Melalui pasal 169A, pemegang Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) memperoleh perpanjangan menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) tanpa melalui lelang. Perpanjangan dilakukan setelah memenuhi persyaratan dengan mempertimbangkan peningkatan penerimaan negara.
"Saya rasa (RUU Minerba) tidak ada urgensinya, kecuali selamatkan enam perusahaan terbesar yang menguasai 70 persen, itu urgensinya," katanya.