a a a a a
logo
Short Landscape Advertisement Short ~blog/2022/2/1/pak prihadi
Bersama Kita Membangun Kemajuan Industri Smelter Nasional
News

Pengusaha godok pembentukan Indeks Nikel Indonesia

Pengusaha godok pembentukan Indeks Nikel Indonesia
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Penambang nikel tengah menggodok pembentukan Indeks Nikel Indonesia (INI). Indeks tersebut dimaksudkan sebagai referensi untuk harga jual bijih nikel yang dijual penambang, khususnya yang dipasok ke pasar domestik.

Pasalnya, menurut Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey, secara keekonomian harga bijih nikel saat ini tidak menguntungkan bagi penambang. Selain harga jual yang di bawah Harga Patokan Mineral (HPM), penambang pun masih dibebani untuk membayar sejumlah kewajiban seperti pajak dan royalty.


"Pada prakteknya harga jual seringkali di bawah HPM, padahal (pembayaran) kewajiban itu dibebankan ke penambang. Jadi tidak ada keuntungan yang layak untuk penambang," jelas Meidy dalam Focus Group Discussion yang digelar, Kamis (4/7).

Meidy memberikan gambaran, total biaya produksi bijih nikel bisa mencapai US$ 16,57 per metric ton (MT). Sebagai perbandingan, sambung Meidy, dalam komoditas bijih nikel yang boleh diekspor, yakni dengan kadar 1,7%, HPM pada Juni 2019 lalu dipatok sebesar US$ 26,66 per wet metric ton (wmt).

Namun, kata Meidy, harga jual untuk Free on Board (FoB) pada pasar lokal hanya sebesar US$ 15 per wmt. Sedangkan harga jual untuk FoB Vessel ke pasar ekspor mencapai US$ 30 per wmt. "Jadi perusahaan IUP OP dan OPK berlomba-lomba untuk mendapatkan kuota ekspor, ditambah lagi permintaan kadar nikel domestik lebih dari 1,8%," jelas Meidy.

Ia pun mengungkapkan bahwa kuota ekspor membutuhkan persyaratan tertentu, sehingga pasokan ke pasar ekspor hanya 10%-20% dari produksi nikel berkadar 1,7%. Alhasil, sisanya akan diserap ke pasar domestik, yang mana hingga tahun 2018 baru ada 15 smelter yang beroperasi.

Meidy bilang, ketidak berimbangan antara jumlah pasokan dan smelter yang beroperasi mengakibatkan kondisi kelebihan pasokan atau over supply. "Jadi smelter punya posisi tawar yang lebih kuat (dalam menentukan harga)," kata Meidy.

Oleh sebab itu, APNI mendorong adanya Indeks Nikel Indonesia (INI) yang nantinya akan digunakan sebagai harga acuan dalam penjualan bijih nikel. INI ini, kata Meidy, hampir tak berbeda dengan Indonesian Coal Index (ICI) dan Indonesian Crude Palm Oil Indonesia (ICPOI).

Indeks tersebut, ditentukan oleh panelis dalam rentang waktu tertentu, yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Khususnya penambang, pemilik smelter, bahkan juga industri pendukung seperti logistik dan kontraktor.

Rencananya, INI ini akan mulai diluncurkan pada 25 Juli 2019 mendatang. "Jadi nanti ada patokan, kalau INI terealisasi, kita harapkan ada perbaikan harga," tandas Meidy.

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penambang nikel tengah menggodok pembentukan Indeks Nikel Indonesia (INI). Indeks tersebut dimaksudkan sebagai referensi untuk harga jual bijih nikel yang dijual penambang, khususnya yang dipasok ke pasar domestik.

Pasalnya, menurut Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey, secara keekonomian harga bijih nikel saat ini tidak menguntungkan bagi penambang. Selain harga jual yang di bawah Harga Patokan Mineral (HPM), penambang pun masih dibebani untuk membayar sejumlah kewajiban seperti pajak dan royalty.

"Pada prakteknya harga jual seringkali di bawah HPM, padahal (pembayaran) kewajiban itu dibebankan ke penambang. Jadi tidak ada keuntungan yang layak untuk penambang," jelas Meidy dalam Focus Group Discussion yang digelar, Kamis (4/7).

Meidy memberikan gambaran, total biaya produksi bijih nikel bisa mencapai US$ 16,57 per metric ton (MT). Sebagai perbandingan, sambung Meidy, dalam komoditas bijih nikel yang boleh diekspor, yakni dengan kadar 1,7%, HPM pada Juni 2019 lalu dipatok sebesar US$ 26,66 per wet metric ton (wmt).

Namun, kata Meidy, harga jual untuk Free on Board (FoB) pada pasar lokal hanya sebesar US$ 15 per wmt. Sedangkan harga jual untuk FoB Vessel ke pasar ekspor mencapai US$ 30 per wmt.

"Jadi perusahaan IUP OP dan OPK berlomba-lomba untuk mendapatkan kuota ekspor, ditambah lagi permintaan kadar nikel domestik lebih dari 1,8%," jelas Meidy.

Ia pun mengungkapkan bahwa kuota ekspor membutuhkan persyaratan tertentu, sehingga pasokan ke pasar ekspor hanya 10%-20% dari produksi nikel berkadar 1,7%. Alhasil, sisanya akan diserap ke pasar domestik, yang mana hingga tahun 2018 baru ada 15 smelter yang beroperasi.

Meidy bilang, ketidak berimbangan antara jumlah pasokan dan smelter yang beroperasi mengakibatkan kondisi kelebihan pasokan atau over supply. "Jadi smelter punya posisi tawar yang lebih kuat (dalam menentukan harga)," kata Meidy.

Oleh sebab itu, APNI mendorong adanya Indeks Nikel Indonesia (INI) yang nantinya akan digunakan sebagai harga acuan dalam penjualan bijih nikel. INI ini, kata Meidy, hampir tak berbeda dengan Indonesian Coal Index (ICI) dan Indonesian Crude Palm Oil Indonesia (ICPOI).

Indeks tersebut, ditentukan oleh panelis dalam rentang waktu tertentu, yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Khususnya penambang, pemilik smelter, bahkan juga industri pendukung seperti logistik dan kontraktor

Rencananya, INI ini akan mulai diluncurkan pada 25 Juli 2019 mendatang. "Jadi nanti ada patokan, kalau INI terealisasi, kita harapkan ada perbaikan harga," tandas Meidy.