Penuhi Syarat CPI, Smelter Timah Swasta Bisa Ekspor
PANGKALPINANG– Sejak diberlakukannya syarat Competent Person Indonesia (CPI) banyak smelter timah swasta yang tak bisa melakukan ekspor. Wakil Ketua Asosiasi Eksportir Timah Indonesia (AETI), Reza Ardiansyah menyebutkan sejak adanya aturan soal CPI , ekspor timah mengalami penurunan di tahun 2018 dan di 2019.
“Kalau BPS merilis penurunan Januari-Mei Rp1,8 triliun, mungkin itu dari segi perputaran uang, tapi kalau kami mencatat tidak sampai demikian, kurang lebih penurunan itu 2.000 ton per bulan (Januari-Mei),” kata Reza dalam konferensi pers usai Workshop on Responsible Tin Production AETI- RMI (Responsible Minerals Initiative), Kamis (25/7/2019).
Dia menyebutkan, pada tahun 2017, ekspor timah mencapai 77.000 ton, kemudian pada tahun 2018 menurun 75.000 ton, sementara medio Januari-Mei untuk ekspor rata-rata 4.000 ton per bulan dimana sebelumnya sekitar 6.000 ton per bulan.
“CPI itu dikeluarkan di bulan Mei 2018, jadi sebenarnya peraturan ini tidak merubah total ekspor di Indonesia. Selisih 2.000 ton itu wajar, kalau kita lihat dari situ tidak kurangi ekspor kita,” katanya.
Kendati demikian, ia mengakui bahwa sejak diberlakukannya aturan CPI ini, yang hanya melakukan ekspor hanyalah PT Timah saja sementara smelter lainnya belum. Dia memastikan pada Agustus mendatang, beberapa smelter sudah memenuhi CPI dan dapat melakukan ekspor.
“Ekspor PT Timah karena ada CPI ini, tapi mudah-mudahan swasta bulan Agustus mulai ekspor lagi, karena dalam peraturan CPI perlu verifikasi cadangan, dan perlu waktu agak lama bagi smelter untuk melakukan itu tergantung berapa besar IUP, tapi hasil laporan sudah ada, mudah-mudahan Agustus sampai Desember sudah mulai ekspor kembali,” jelasnya.
Sebetulnya, kata dia, tidak sulit untuk melengkapi CPI, hanya saja perusahaan perlu waktu dan konsultan harus melakukan verifikasi data dan sebagainya di lapangan yang memakan waktu lama.
Sekjen AETI, Jabin Sufianto menambahkan, penurunan ekspor timah terjadi sekitar 7-10 persen, karena faktor makro, perang dagang China dan Amerika dan bukan dikarenakan regulasi atau hal lainnya.
Tambang Ramah Lingkungan
Sementara itu, AETI dan RMI menggelar joint Workshop on Responsible Tin Production, di Swissbell Hotel, Pangkalpinang selama dua hari. Workshop bertujuan menyamakan persepsi untuk praktek penambangan yang bertanggung jawab dan membuat langkah besar untuk meminimalkan risiko lingkungan dan kesehatan dan keselamatan.
“Dalam workshop ini juga membahas terkait pendanaan untuk pilot project. Kami mau review apa saja yang jadi hambatan dan yang kami rasa bisa kami buat lebih besar lagi. Workshop hanya menyamakan persepsi semua stakeholder. Selain itu, kedepan bagaimana semua industri timah bisa bekerja sama untuk mendorong responsible mining practice,” tandas Sekjen AETI, Jabin Sufianto.
Dalam workshop ada perjanjian antara pemda dan koperasi, dinas pertanian dan dinas kelautan perikanan bersedia salurkan untuk bibit dan pupuk bisa diberikan ke koperasi dengan dibentuk poktan, sebagai bagian dari penambangan yang berkelanjutan dan CSR yang ramah lingkungan.
Untuk diketahui RMI adalah lembaga global yang berujuan meningkatkan rantai pasok mineral swasta global, di Indonesia sudah ada percontohan tidak hanya PT Timah yang dilibatkan tapi perusahaan lain yang berpartisipasi secara aktif dan tak terbatas sebagai perusahaan tertentu.
“Untuk pengelolaan lingkungan dengan anggota kami, kami update ke anggota mengenai projects yang dilakukan, seperti di Indonesia, adanya alur informasi yang baik hulu ke hilir, kami menemukan adanya hubungan customer yang sudah ada di kami,” jelas perwakilan dari RMI. (nov)