Jakarta, Beritasatu.com - Meningkatnya country risk pada perdagangan timah murni batangan di Indonesia mengakibatkan secondary market timah Indonesia di Singapura meningkat tajam. Hal itu lantas memberikan sinyalir kepada pasar bahwa pelaku pasar timah dan khususnya end user, lebih memilih pembelian timah asal Indonesia melalui Singapura karena Indonesia dinilai rendah dalam kepastian hukum terkait dengan perdagangan timah murni batangan.
"Dampak yang timbul sebagai akibat dari country risk ini bisa saja berbuntut panjang terhadap kedaulatan timah Indonesia dan menurunkan kepercayaan global terhadap Indonesia," kata Presiden Direktur Indonesia Clearing House (ICH), Nursalam, di Jakarta, Kamis (8/8/2019).
Sebagai informasi, pada tahun 2018, secondary market timah Indonesia di Singapura berhasil menurun dari yang semula 80 persen di tahun 2014 menjadi tinggal 24 persen. Namun, pada semester I tahun 2019, meningkat tajam sebesar 100 persen menjadi 49 persen per Juli 2019.
Nursalam menegaskan, mengingat timah merupakan komoditi strategis yang tidak terbarukan, tidak tergantikan, dan merupakan ekspor unggulan yang diandalkan provinsi Bangka Belitung, untuk itu diperlukan dukungan politik (political will) sepenuhnya dari pemerintah dalam hal memberikan kepastian hukum bagi para pelaku pasar global.
"Serta diharapkan ada persamaan persepsi dari seluruh pemangku kebijakan tentang perdagangan timah murni batangan di bursa timah agar Indonesia bisa kembali berdaulat atas perdagangan timah dunia," tambah Nursalam.
Baru-baru ini, timah murni batangan milik salah satu smelter anggota bursa timah ICDX yang telah diperdagangkan, tertahan ekspornya karena dicurigai berasal dari bijih timah ilegal. Namun, akhirnya diputuskan oleh Pengadilan Negeri (PN) Sungai Liat bahwa timah tersebut legal dan sah. PN Sungai Liat juga memutuskan agar timah dikembalikan kepada pihak yang berhak.
Namun, meski timah murni batangan tersebut sudah dikembalikan, ternyata tidak begitu saja bisa diekspor. Pasalnya, untuk melakukan ekspor dibutuhkan persetujuan ekspor dan eksportir terdaftar dari eksportir atau smelter yang bersangkutan, yang ternyata telah habis masa berlakunya.
"Sampai saat ini belum ada solusi dari permasalahan tersebut yang menyebabkan terhambatnya ekspor timah murni batangan. Hal ini berpotensi menurunkan reputasi Indonesia di perdagangan internasional dan meningkatkan country risk Indonesia karena ketidakpastian hukum," tegas Nursalam.