Perhapi: Ekspor Nikel Pertaruhkan Cadangan dan Sumberdaya
Bisnis.com, JAKARTA - Usulan penambang nikel agar pemerintah membuka keran ekspor bijih nikel berkadar rendah perlu dikaji lebih dalam, terutama memperhatikan aspek neraca sumberdaya dan cadangan nikel.
Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Rizal Kasli mengatakan untuk kebijakan relaksasi ekspor nikel ore kembali perlu dikaji lebih mendalam karena akan berpengaruh kepada neraca sumberdaya dan cadangan nikel.
"Pemenuhan kebutuhan bijih nikel untuk kebutuhan dalam negeri, harga komoditas akibat over supply dan pada akhirnya akan berpenagaruh kepada kelayakan bisnis smelter," ujarnya kepada Bisnis, Minggu (5/4/2020).
Virus corona memang sudah mempengaruhi segala lini kehidupan dan bisnis di hampir seluruh Negara di dunia termasuk Indonesia. Hal ini juga dapat memengaruhi dunia tambang apabila penyebaran Covid-19 ini tidak bisa dibendung karena sifat penularannya sangat cepat dan pembawa virus atau carrier tidak menunjukkan gejala-gejala yang berarti.
Setelah pemerintah mencabut aturan relaksasi ekspor nikel ore, memang banyak perusahaan yang terkena imbasnya karena tidak membangun smelter sendiri sehingga tidak bisa berproduksi seperti biasanya.
Hanya perusahaan tambang yang memiliki smelter atau pembeli dari smelter yang beroperasi untuk memenuhi permintaan pelanggan smelter.
"Diharapkan kalau smelter yang direncanakan selesai dibangun semua, tentu permintaan akan nickel ore akan meningkat lagi. Namun, lagi-lagi karena pengaruh covid-19 ini bisa berpengaruh kepada penyelesaian pembangunan smelter tersebut," kata Rizal.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambangan Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey meminta pemerintah untuk membuka kembali keran ekspor bijih nikel berkadar rendah sementara agar penambang bisa hidup dan bertahan. Hal ini agar para penambang tak mengurangi jumlah tenaga kerja dan dapat membayar sejumlah kredit perbankan di tengah pandemi Covid-19.
Dia berharap pemerintah dapat membuka relaksasi ekspor nikel ore untuk meningkatkan devisa penerimaan negara. Pemberian relaksasi ekspor bijih nikel berkadar rendah yakni di bawah 1,65% ini dapat diberikan jangka waktu 1 tahun.
Pemerintah pun dapat mengembalikan Peraturan Pemerintah nomor 1 Tahun 2017 dimana pelarangan eskpor dimulai pada 12 Januari 2022.
"Kami minta agar ekspor nikel ore ini kembali dibuka. Memberikan beban bea export yang tinggi untuk ekspor nikel ore BK 20% Bea keluar ekspor ore ditinggikan ini dialokasikan langsung utk bantuan penyelesaian masalah akibat wabah Virus Corona di dalam negeri," tuturnya.
Para penambang akan mengalokasikan Rp10.000 per wett metriks ton untuk bantuan menangani Covid 19 yang diberikan di setiap wilayah ekspor.
Dia mengusulkan apabila pemerintah membuka pintu ekspor bijih nikel berkadar rendah, pengelolaan ekspor tesebut dapat 1 pintu yakni melalui APNI maupun BUMN agar terkendali.
"Kami berharap pemerintah beri relaksasi ekspor bijih nikel berkadar rendah," kata Meidy
Saat ini kondisi para penambang nikel semakin terpuruk akibat pandemi Virus Corona (Covid-19) setelah larangan ekspor nikel di awal Januari ditutup.
"Beberapa perusahaan sudah melakukan penghentian produksi," ucapnya.
Berhentinya sejumlah operasi penambangan nikel ini karena adanya kendala operasi karena pembatasan wilayah oleh Pemerintah Daerah sehingga berdampak pada tenaga kerja yang sulit masuk area produksi akibat Covid-19.
"Tak semua smelter atau fasilitas pemurnian menjalankan operasi semua line sehingga permintaan nikel ore mengalami penurunan," tutur Meidy.
Dia menambahkan kondisi saat ini smelter lokal hanya menerima kadar ore tinggi yakni di atas 1,8 persen. Dengan kata lain, kadar rendah.di bawah 1,8 persen tak diterima oleh smelter lokal.
"Smelter lokal yang hanya menerima kadar 1,8 persen ini berdampak banyak ilegal mining, penambang mencari sumber-sumber baru untuk bisa dapet kadar tinggi 1,8 persen," ujarnya.
Smelter lokal pun terlalu selektif menerima nikel ore yang gradenya tinggi dengan jenis sio, mgo, dan fe. Sementara, apabila diekspor tak ada selektif kualitas nikel alias para buyer di luar negeri menerima kualitas apapun.
Tak hanya itu, harga beli nikel oleh smelter di dalam negeri pun sangat rendah yakni hanya US$18 per ton free on board (FoB), dimana di bawah biaya produksi penambang yang sebesar US$20 per ton.
"Smelter lokal prioritas membeli ore hanya kepada anak perusahaan sendiri atau tambang sendiri," tuturnya.
Hingga saat ini sendiri, pemerintah belum mengeluarkan beleid ketentuan tata niaga nikel domestik, padahal beleid ini dijanjikan akan keluar pada akhir Maret kemarin.
Adapun dalam beleid ini akan mengatur Harga Patokan Mineral (HPM) sebagai harga dasar jual beli nikel domestik dimana juga akan diatur batas bawah dari HPM tersebut. Lalu dalam beleid ini juga akan diberikan sanksi bagi smelter maupun penambang apabila tak mengikuti aturan. Selain itu juga akan diatur wasit surveyor antar kedua belah pihak agar adil.
"Kami berharap agar beleid ini segera keluar yang mengatur HPM dan tata niaga nikel domestik," kata Meidy.