a a a a a
logo
Short Landscape Advertisement Short ~blog/2022/2/1/pak prihadi
Bersama Kita Membangun Kemajuan Industri Smelter Nasional
News

Perusahan Smelter Juga Tak Boleh Beli Bijih Nikel di Bawah HMA

Jakarta: Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan pembelian bijih nikel, termasuk oleh perusahaan smelter, untuk diolah dan dimurnikan harus mengacu pada harga mineral acuan (HMA).

Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono mengatakan pedoman tersebut telah diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2028 tentang pedoman pelaksanaan pengenaan, pemungutan, dan pembayaran atau penyetoran penerimaan negara bukan pajak mineral dan batu bara. Serta Peraturan Menteri ESDM yang saat ini tengah dalam penomoran di Kemenkumham terkait dengan percepatan larangan ekspor bijih nikel.

"Dua kali Pak Menteri ingatkan bahwa pembelian nikel di dalam negeri harus mengacu pada harga mineral acuan yang setiap bulan keluar," kata Bambang di Kementerian ESDM, Jakarta Pusat, Senin, 2 September 2019.


Bambang mengatakan dirinya juga telah bertemu dengan perusahaan smelter dan mengonfirmasi mengenai pembelian dengan harga yang rendah. Dari keterangan perusahaan, smelter membeli dengan harga yang berlaku.

"Ini yang bilang harganya terlalu rendah siapa? Saya kemarin ketemu smelter bilang 'ah enggak seperti itu'," tutur dia.

Bambang bilang pemerintah akan mempertemukan kedua belah pihak yakni perusahaan nikel dan perusahaan smelter untuk meminta penjelasan yang sebenarnya. Pada dasarnya, kata dia, hal tersebut merupakan urusan business to businees (B to B) antardua belah pihak. Pemerintah, kata dia tidak mencampuri urusan B to B.

Pada prinsipnya, lanjut Bambang harus memperlakukan penambang dengan baik agar perusahaan tetap bisa dapat untung dan bertahan. Namun juga perusahaan smelter harus juga mendapat keuntungan serupa dari kegiatannya.

"Nanti itu B to B silakan saja diatur, tapi Pak menteri berikan pedoman harus mengacu harga mineral acuan," jelas Bambang.

Sebelumnya Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertambangan Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey mengatakan ada tiga alasan pengusaha enggan menjual ke dalam negeri pada perusahaan smelter dan memilih menjual hasil produksi bijih nikel ke luar negeri atau ekspor.

Pertama terkait dengan harga, Meidy mengatakan perusahaan smelter yang beroperasi di tanah air yang bukan merupakan perusahaan tambang mematok harga sangat rendah. Bahkan meidy bilang tidak manusiawi.

Ia mencontohkan apabila diekspor, perusahaan smelter di luar rela untuk mengeluarkan uang sekitar USD60-USD80 per ton untuk mendatangkan bijih nikel dari pelabuhan hingga pabrik smelter yang jaraknya bisa ditempuh hingga 2-3 hari. Sementara perusahaan smelter di dalam negeri paling mentok, kata Meiy hanya menerima bijih nikel dengan harga USD20 per ton.

"Padahal smelter kita letaknya ada di bibir pelabuhan, dekat dengan pelabuhan. Kalau menjual bijih nikel ke domestik, mereka menentukan harganya tidak manusiawi," kata Meidy di DPP APNI, Jakarta Pusat, Kamis, 22 Agustus 2019.

Kedua, terkait dengan kadar nikel yang diminta perusahaan smelter dalam negeri di atas 1,8 persen. Apabila dibawah kadar itu maka harganya akan terus berkurang. "Sudah menentukan harga lebih rendah, namun mintanya kadar yang lebih tinggi," tutur dia.

Ketiga terkait dengan permainan penentuan kadar oleh surviyor. Berdasarkan rekomendasi pemerintah dalam surat edaran Kementerian ESDM No 05.E/30/DJB/2016 tentang surveyor dalam rangka pelaksanaan kegiatan penjualan atau pengapalan mineral dan batu bara ada lima perusahaan yang berhak menentukan kadar nikel sesuai dengan surat edaran menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yakni Sucofindo, Surveyor Indonesia, Carsurin, Geo Service dan Anindya (Citra Buana). Hasil penilaian ini akan menjadi basis bagi pembayaran royalti pelaku usaha kepada negara.

Pembeli dalam hal ini perusahaan smelter justru menunjuk Intertek perusahaan diluar yang telah ditunjuk oleh pemerintah untuk melakukan pengujian kadar nikel. "Sementara pihak pembeli smelter pakainya surveyor Intertek," ujar Meidy.

Dengan mekanisme yang ada saat ini pelaku usaha tambang juga dikuasai empat perusahaan smelter raksasa yang melakukan kertel terhadap harga bijih nikel memanfaatkan penggunaan surveyor yang berbeda dari yang sudah ditunjuk oleh pemerintah.


https://www.medcom.id/ekonomi/energi/nbwQPq5K-perusahan-smelter-juga-tak-boleh-beli-bijih-nikel-di-bawah-hma