Pilih Ekspor, Penambang Nikel 'Gerah' dengan Smelter China?
Jakarta, CNBC Indonesia - Dua pekan terakhir wacana soal larangan ekspor bijih nikel meramaikan pemberitaan. Larangan yang semestinya berlaku pada 2022, kini dikabarkan dipercepat dan berlaku di tahun ini.
Penambang nikel akhirnya buka suara. Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy K Lengkey membeberkan alasan mengapa pihaknya kekeuh agar pemerintah tidak mempercepat pemberlakuan larangan ekspor bijih nikel.
Pasalnya, selama ini pengusaha nasional bergantung pada kuota ekspor.
"Kami diminta untuk melakukan penghiliran, boleh ekspor ore tapi harus bangun smelter, modalnya darimana? Dari ekspor," ungkap Meidy saat dijumpai di Jakarta, Kamis (22/8/2019).
Di sisi lain, ini juga menyangkut soal harga jual. Jika dirunut, bisa dimulai dari pembeli domestik yang mayoritasnya meminta bijih nikel dengan kadar di atas 1,8%. Sementara, untuk ekspor, maksimal kadar yang diizinkan hanya mencapai 1,7%.
Tentunya, besaran kadar berpengaruh pada harga. Sebab, semakin tinggi kadar, tentu output yang dihasilkan juga tinggi, kemudian penjualan tinggi karena harganya juga tinggi. Pendapatan besar.
Baca: Duh, Nikel RI Cuma Dibeli Rp 300 Ribu/Ton oleh Smelter China
Sejatinya, pemerintah sudah menentukan Harga Patokan Mineral (HPM) yang digunakan sebagai acuan dasar royalti pemerintah, dan telah menunjuk lima surveyor, yakni Sucofindo, Surveyor Indonesia, Carsurin, Geo Service, dan Anindya untuk menentukan tinggi kadar, HPM, besaran royalti, dan PPh tersebut.
"Tapi, ketika bijih nikel dijual ke pembeli smelter domestik, mereka tidak pakai lima surveyor yang ditunjuk pemerintah, pakainya Intertek. Pembeli tentukan wajib gunakan Intertek di CIF/pelabuhan bongkar," kata Meidy.
Dampaknya, ini berpengaruh pada harga jual bijih nikel yang didapatkan oleh pengusaha nasional, yang ternyata jauh lebih rendah dibandingkan dengan perolehan harga ekspor. Padahal bijih nikel yang dijual adalah yang berkadar tinggi.
"Harga lokal 1,8% yang diterima itu cuma kira-kira Rp 300.000, atau US$ 24-25. Sedangkan kalau ekspor 1,7% itu US$ 34 dolar per ton. Ini kadar rendah. Jadi, kadar tinggi dijual dengan harganya serendah-rendahnya, yang satu diekspor harga tinggi," imbuh Meidy.
Di samping itu, pihaknya pun menyoroti ketidakadilan yang dialami pengusaha nikel nasional. Hal ini terkait dengan pemberian royalti dan PPh ore.
Meidy menjelaskan, ada dua jenis izin yang dikeluarkan untuk pertambangan nikel, yakni Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Industri (IUI).
Selama ini, pemerintah hanya mengenakan royalti dan PPh kepada perusahaan yang memiliki IUP saja, sedangkan tidak ada aturan yang mewajibkan IUI membayar dua hal tersebut. Padahal, jika IUI membayar royalti dan PPh, pemasukan negara akan lebih besar.
"IUI bebas royalti, tidak ada aturan wajib bayar royalti. Ini tidak adil dong? Ini kan sama-sama memproduksi barang yang sama, tapi kok perlakuan beda, bahkan ini kami pengusaha nasional lho, anak kandung negeri sendiri," pungkas Meidy.
Sebagai informasi, selama ini ada empat perusahaan smelter besar pemilik IUI di Indonesia, yakni PT Sulawesi Mining Investment, PT Virtue Dragon Industry, PT Huadi Nickel Aloy, dan PT Harita Nickel.