Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Semen Indonesia (ASI) menyatakan para pelaku industri semen akan mengurangi produksi semen ordinary portland cement (OPC) secara bertahap. Penggunaan semen OPC hanya akan diperuntukkan untuk keperluan khusus.
Ketua Umum ASI Widodo Santoso mengatakan, proyek-proyeks strategis seperti jalan tol, pembangkit listrik, dan smelter tidak perlu lagi menggunakan semen OPC dan dapat beralih menggunakan semen portland compostie cement (PCC) dan portland pozzoland cement (PPC).
"Target [produksi] OPC harusnya cukup di bawah 10% [dari total produksi semen]," ujarnya kepada Bisnis pekan lalu.
Dia menyatakan industri semen telah memproduksi setidaknya 45,9 juta ton CO2 dalam proses produksi semen pada tahun lalu. Maka dari itu, untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) dalam proses produksi, asosiasi menyarankan agar para kontraktor infrastruktur mengganti semen yang biasa digunakan yakni OPC, menjadi PCC dan PPC.
Berdasarkan catatan Kementerian Perindustrian, pencampuran bahan baku semen dengan menggunakan aditif seperti limestone, pozzolan, dan fly ash, dapat menurunkan rasio clinker. Adapun, PCC dan PPC mencampurkan sebagian bahan aditif tersebut saat proses produksi.
Widodo mengatakan penggunaan PCC dan PPC dalam proyek infrastruktur dapat mengurangi GRK hingga 3,5 juta ton per tahun. Selain itu, biaya proyek pun akan semakin kompetitif lantaran harga PCC dan PPC yang lembih murah lantaran rasio clinker yang lebih sedikit.
“Harapan kami, paling tidak [emisi GRK] turunnya 10%-30%. Kesimpulannya dengan adanya penggunaan semen ramah lingkungan, kami bisa menghemat lagi 3,4 juta ton gas rumah kaca,” ujarnya.
Widodo mengatakan proyek infrastruktur menyerap sekitar 25% dari total konsumsi semen per tahunnya. Namun menurutnya, tujuan dari imbauan ini bukan untuk meningkatkan komposisi serapan semen dari sektor infrastruktur, melainkan murni untuk mendukung target pemerintah pada 2030.
Seperti diketahui, pada 2012 Pemerintah Indonesia berpartisipasi dalam perjanjian Kyoto yang menyatakan akan mengurangi emisi GRK hingga 20% dari data 2010.