JAKARTA – “Stop ekspor bahan mentah. Kurangi," ujar Jokowi dalam CEO Networking 2018 di Ritz Carlton Hotel, Jakarta Pusat, Senin (3/11/2018).
Seruan itu seakan membuka realita miris negara dengan potensi mineral logam yang sangat besar seperti Indonesia. Bagaimana tidak? Indonesia yang menurut Kepala Bidang Mineral PSDMBP ESDM, Moehamad Awaludi memiliki potensi mineral logam terbesar ketiga di dunia ini nyatanya belum mampu memberikan kontribusi besar bagi penerimaan negara. Apalagi untuk menyejahterakan rakyat Indonesia.
Kondisi ini pun tercermin dalam catatan Indonesian Mining Association (IMA) yang menyatakan bahwa dalam periode 10 tahun sejak 2005–2012, rata-rata penerimaan negara dari sektor pertambangan umum berupa pajak dan royalti sangatlah kecil. Besarnya rata-rata hanya mencapai sekitar Rp 60,42 triliun atau 6,16% dari total penerimaan negara pada periode tersebut.
Direktur Utama Pusat Investasi Pemerintah, Syahrir Ika dalam kajian Kebijakan Hilirisasi Mineral: Reformasi Kebijakan untuk Meningkatkan Penerimaan Negara (2017), mengonfirmasi hal ini. Menurutnya, minimnya kontribusi sektor mineral logam terhadap negara terjadi karena sebagian besar perusahaan tambang beroperasi di hulu (uspstream), mengekspor bijih (mineral mentah) yang bernilai tambah rendah.
“Praktik ini telah berlangsung lebih dari 40 tahun sehingga Indonesia kemudian mendapat julukan sebagai the exported of raw material specialist,” sesalnya.
Meski diakuinya, memang ada beberapa perusahaan tambang seperti PT Antam Tbk (Antam), PT Inco Tbk (Vale) dan PT Semelting Gresik (PTSG) sudah lama beroperasi di hilir.
Sayangnya kapasitas smelter yang mereka miliki relatif kecil. Alhasil daya serap smelter terhadap mineral mentah pun terbatas. Kondisi inilah yang menurutnya membuat sebagian besar mineral mentah yang diproduksi perusahaan-perusahaan tambang diekspor.
Reformasi Mineral Sadar akan kondisi ini, reformasi kebijakan pengelolaan mineral di Indonesia sebenarnya sudah mulai dilakukan melalui Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (minerba). Pemberlakuan UU tersebut harapannya dapat mendorong terjadinya peralihan (shifting) pengelolaan mineral, yaitu dari hulu ke hilir. Sebab UU ini mewajibkan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan pemegang Kontrak Karya (KK) untuk mendirikan smelter di dalam negeri.
Tak hanya itu, pemerintah juga melarang perusahaan tambang melakukan ekspor mineral mentah. Larangan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 23 Tahun 2010, dan diberlakukan sejak 12 Januari 2014 atau lima tahun sejak UU Nomor 4/2009 diundangkan.
Tapi dampaknya pun ternyata tak signifikan. Laporkan Kementerian ESDM tahun 2015 mencatat bahwa kontribusi sektor minerba terhadap ekspor dan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia masing-masing hanya sebesar 3,2 % dan 5,12%. Sementara, kontribusi sektor minerba terhadap Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) hanya mencapai 4,4% (Walker, 2015).
Komposisi PNPB tersebut meliputi royalti, penjualan hasil tambang serta iuran tetap.
Kontras dengan kondisi tersebut, kajian Syahrir Ika coba membandingkan kontribusi minerba Indonesia dengan kontribusi minerba Chile yang adalah produsen mineral tembaga terbesar di dunia. Kajian itu menyatakan sektor minerba Chile memiliki kontribusi terhadap total ekspor dan PDB masing-masing mencapai 30% dan 6,7% (Saggu & Anukoonwattaka, 2015).
Padahal, Chile hanya mengekspor konsentrat. Belum pada tahap hasil pengolahan yang memiliki nilai tambah tinggi, seperti yang ingin dilakukan Indonesia melalui kebijakan hilirisasi mineral tahun 2009.
Kontribusi sektor tambang mineral Indonesia dalam tiga tahun terakhir pun tak bisa dibilang menggembirakan. Laporan kinerja ESDM 2017 mencatat baru pada tahun 2017 realisasi PNBP penjualan hasil tambang lainnya (selain batu bara) dapat melebihi rancangan target tahunannya. PNBP dari penjualan hasil tambang lainnya tercatat mencapai Rp16,86 triliun atau Rp2,12 triliun melebihi target tahun itu.
Sebuah prestasi memang. Namun jika ditelisik lebih dalam, sebenarnya target tahun 2017 itu sudah 46,88% lebih rendah dibandingkan target penerimaan tahun 2015. Mencoba realistis, jika tidak mau dibilang bermain aman, target PNBP untuk penjualan hasil tambang lainnya sudah coba dipangkas sejak 2016 hingga hanya menjadi Rp13,56 triliun.
Masalahnya realisasi PNBP sektor itu tahun 2015 memang hanya setengah lebih sedikit dari yang telah ditargetkan. Realisasi PNBP penjualan hasil tambang lainnya tahun 2015 hanya mencapai Rp11,94 triliun atau 55,15% dari jumlah yang ditargetkan pada tahun itu.
Ironisnya, tren negatif pencapaian penerimaan PNBP pertambangan sebenarnya telah ditemukan sejak tahun 2011. Mengutip kajian Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN-SETJEN DPR-RI, ada faktor teknis yang memengaruhi rendahnya penerimaan PNBP pertambangan selain karena jatuhnya harga komoditas itu sendiri.
Kajian itu mengungkapkan hasil temuan BPK tahun 2014 yang menemukan adanya ketidaksesuaian pelaksanaan PNBP dengan ketentuan yang berlaku. Masalahnya ditemukan indikasi kekurangan PNBP Minerba atas iuran tetap Tahun 2013 dan 2014 di Kementerian ESDM.
Selain itu, hasil pemetaan Kementerian Keuangan dalam kajian itu juga menyebut adanya masalah ketidakadaan database jenis tarif PNBP. Alhasil penyusunan Keputusan Menteri Keuangan mengenai persetujuan penggunaan sebagian dana PNBP pada Kementerian/Lembaga pun terkendala dan tidak optimal hasilnya.
Sebelumnya, bahkan temuan KPK tahun 2011 mencatat, adanya potensi kerugian negara akibat masalah PNBP mineral logam ini. KPK mencatat potensi kurangnya royalti dari bahan mineral logam jenis nikel, bijih besi, pasir besi, timbal, bauksit, hingga mangan dari 180 perusahaan mencapai US$24,66 juta.
Ketidakseimbangan Hulu Hilir Sementara jika melihat dari jumlah produksinya, data World Mining Data 2018 memang mencatat adanya penurunan jumlah produksi pada sejumlah bahan tambang mineral logam Indonesia. Mulai dari besi, nikel, alumunium, bauksit, hingga timah produksinya menurun pada tahun 2015. Paling ketara penurunan produksi terjadi pada bauksit yang terkoreksi hingga 81,42% dari total produksi tahun sebelumnya yang mencapai 2,54 juta ton.
Penurunan produksi yang cukup besar di tahun yang sama juga terjadi pada jenis nikel, yaitu sebesar 39,72% dari tahun sebelumnya menjadi 129,60 ton. Kemudian diikuti produksi besi yang menurun hingga 35,47% atau menjadi 2,11 juta ton.
Menariknya di tengah tren penurunan produksi bauksit nasional yang pada 2014 sudah terkoreksi 95,54% dari produksi tahun 2013 yang mencapai 57,02 juta ton, langkah berani diambil pemerintah dengan mengakuisisi PT Inalum.
Saat itu, perjanjian kerja sama PT Inalum yang dimiliki oleh konsorsium Nippon Asahan Aluminium (NAA) sebesar 58,9% dan Pemerintah Indonesia sebesar 41,1% akan habis masanya pada 2013. Pemerintah pun akhirnya mengambil alih PT Inalum dengan nilai akusisi Rp 7 triliun. Anggaran itu telah dialokasikan di APBN-P 2012 sebesar Rp 2 triliun dan APBN 2013 sebesar Rp 5 triliun.
Kajian fiskal kementerian keuangan tahun 2014 oleh Hilman Qomarsono menyebut keputusan itu diambil mengingat tidak idealnya kondisi industri hulu aluminium nasional saat itu. Akibatnya nilai tambah yang dihasilkan dari sektor ini pun sangat sedikit dan masih jauh dari potensi yang dapat diperoleh.
PT Inalum dinilai memiliki nilai strategis yang tinggi mengingat PT Inalum merupakan satu-satunya perusahaan di Indonesia yang bergerak di bidang pengolahan aluminium (ingot smelter) yang menghasilkan ingot (aluminium batangan) berkualitas tinggi yang diproses dari bahan baku alumina (dihasilkan dari bauksit).
Sebab jika melihat potensinya, per tahun 2011 sebenarnya Indonesia tercatat sebagai salah satu produsen bauksit terbesar di dunia dengan total produksi mencapai 36,11 juta ton. Jumlah itu menempatkan Indonesia sebagai produsen bauksit terbesar kedua di dunia setelah Australia. Namun, ketiadaan fasilitas pengolahan bauksit menjadi alumina (alumina refinery) di Indonesia membuat produksi bauksit nasional harus diekspor terutama ke China dan Jepang.
Sementara sebagai bahan baku untuk memproduksi aluminium, PT Inalum saat itu harus mengimpor alumina dari Australia, China dan Korea Selatan.
Berbanding terbalik dengan jumlah produksi bauksitnya, produksi aluminium Indonesia sangatlah tidak signifikan besarnya di pasar aluminium dunia yaitu sebanyak 0,25 juta ton. Jumlah itu hanya setara 0,6% dari persentase keseluruhan produksi alumunium dunia, degan PT Inalum sebagai satu-satunya produsen di Indonesia.
Perbandingan produksi bauksit dan aluminium Indonesia yang sangat tidak seimbang itu menurut Hilman menunjukkan bahwa industri hulu aluminium nasional masih bertumpu pada ekspor bahan mentah. Industri hulu pun belum dapat mengoptimalkan industri pengolahannya yang seharusnya dapat memberikan nilai tambah yang lebih tinggi.
Bayangkan saja. Jika menggunakan ukuran pada masa itu, nilai tambah dari penjualan bauksit adalah sebesar US$5/ton. Sedangkan untuk pengolahan alumina ada nilai tambah sebesar US$30/ton. Jika pengolahannya bisa sampai ke aluminium, nilai tambah terbesar bisa didapatkan atau senilai US$200/ton.
Meski awalnya terlihat suram, berpegang pada proyeksi konsumsi domestik PT Inalum sebagai BUMN selanjutnya justru semakin benderang. Tahun 2017 lalu perseroan ini ditunjuk sebagai Holding Industri Pertambangan Indonesia. Pembentukannya ditandai dengan penandatanganan akta pengalihan saham seri B yang terdiri atas PT Aneka Tambang (Antam) Tbk sebesar 65%, PT Bukit Asam Tbk sebesar 65,02%, PT Timah Tbk sebesar 65%, serta 9,36% saham PT Freeport.
Akhir Desember (21/12) lalu, PT Inalum bahkan resmi meningkatkan kepemilikannya di PTFI dari 9,36% menjadi 51%. Proses ini terjadi setelah pembayaran saham Freeport sebesar US$3,85 miliar atau sekitar Rp55 triliun. Dengan demikian perseroan ini menjadi pengendali perusahaan yang memiliki tambang Grasberg di Papua dengan kekayaan emas, perunggu dan perak sebesar Rp2.400 triliun hingga 2041.
Kondisi pasar memang jadi perhitungan utama produksi bagi industri pertambangan dari hulu ke hilir. Hal ini seperti diungkapkan Head of Investor Relations PT Kakatau Steel, Widita Andaka. Sebagai pemain di sektor hilir menurutnya penurunan produksi baja yang dihasilkan pihaknya tahun 2017 sangat dipengaruhi oleh permintaan pasar.
“Turunnya produksi mengikuti penjualan, karena rencana produksi berdasarkan order. Kita produksi kan kalau ada order bukan nyetok,” ujar Widita kepada Validnews, Jumat, (31/12).
Diakuinya tahun 2017 lalu volume produksi baja dari PT Krakatau Steel memang menurun hingga 1,68 juta ton. Padahal sebelumnya di tahun 2016 bisa sampai 2,01 juta ton, bahkan bisa sampai 2,26 juta ton di 2013. Hingga September 2018 lalu pihaknya mencatat volume penjualan sekitar 1,6 juta ton.
Widita mengatakan produksi baja buatan pihaknya sebagian besar dialokasikan untuk dalam negeri. Sebab menurutnya kebutuhan baja nasional terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Lebih rinci untuk pangsa pasar di dalam negeri dijabarkannya sebesar 43% untuk Hot Rolled Coil (HRC) dan 26% untuk Cold Rolled Coil (CRC), sedangkan untuk Wire Rod sebesar 7%.
Sayangnya pihaknya mengaku pesimis dapat mencapai target volume penjualan tahun 2018 yang di atas 2,3 juta ton. Pasalnya, pasar domestik, kata dia, sedang diserbu oleh baja asal China akibat meningkatnya jumlah ekspor dari Negeri Tirai Bambu tersebut hingga 59%.
“Kita kalah enggak bisa jual, mereka kan jualnya bisa lebih murah jauh. Kan kalau di China itu didukung pemerintahnya, harga bisa 35% di bawah harga normal,” ujar dia.
Ia mengungkapkan pihaknya akan melakukan ekspansi secara organik maupun anorganik untuk mengatasi masalah produksi saat ini. Ekspansi anorganik salah satunya dilakukan dengan cara mencari pabrik baja yang diindikasi mengalai kebangkrutan. Namun, kata dia rencana ini masih dalam tahap kajian.
Menilik data beberapa data mineral Kementerian ESDM dari tahun 2015–2017, tercatat produksi sejumlah mineral logam terus meleset tiap tahunnya. Seperti misalnya, capaian produksi tembaga yang pada tahun 2017 hanya terealisasi sebesar 245,36 ribu ton atau 79% dari target tahun 2017 sebesar 310.000 ton.
Pihak ESDM mengklaim hal itu terjadi karena terkendala penghentian operasi PT Smelting akibat adanya permasalahan industri dengan karyawan selama 2 bulan (19 Januari 2017–30 Februari 2017). Padahal pada tahun 2015 dan 2016 dengan target yang sama realisasi produksi tembaga pun berturut-turut hanya mencapai 64,71% dan 79,40%.
Sementara untuk Produk Olahan Nikel (PON), pihak ESDM mengklaim telah merealisasikan 92% dari target tahun 2017 atau sebesar 598.125 ton. Padahal jika merunut ke belakang, target produksi dari PON sendiri terus menurun sejak tahun 2015. Tahun 2016 target produksi PON menurun hingga 40,81% dari target sebelumnya yang mencapai 1,1 juta ton.
Tidak hanya PON, target produksi emas juga terus ditekan. Semula tahun 2015 produksi emas ditargetkan mencapai 105 ton. Namun, pada tahun 2016 dan 2017 targetnya dipatok hanya mencapai 75 ton. Capaian tahun 2016 dan 2017 pun masing-masing hanya mencapai 91 ton dan 82 ton saja.
Kendala Lapangan Melihat kondisinya saat ini, pengamat pertambangan Arifudin Idrus mengatakan berdasarkan tingkat produksi mineral logam Indonesia saat ini sebetulnya masih belum secara maksimal mengeksploitasi potensi yang ada. Penurunan volume produksi tidak dapat diartikan bahwa cadangan mineral logam Indonesia menipis. Cadangan baru masih mungkin saja dapat ditemukan jika eksplorasi terus menerus dilakukan.
Masalahnya biaya yang diperlukan untuk menemukan cadangan baru tentunya tidak murah. Selain itu, risiko yang dihadapi industri pertambangan juga tinggi. Karena itu, menurutnya, tidak semua BUMN Indonesia berani mengambil risiko dalam investasi tambang.
“Makanya, katakanlah sekarang yang paling banyak melakukan ide-ide eksplorasi emas kan ANTAM. Tapi beberapa tahun terakhir ini mereka hanya berani melakukan investasi di endapan yang kecil, kalau kita sebut itu epithermal, yang urat itu,” jelas Arifudin, kepada Validnews, Minggu (31/12).
Sementara untuk yang berskala besar, seperti endapan yang masih hijau atau yang benar-benar baru mau dibuka, menurut dia belum ada yang berani melakukannya. PT Inalum saja, lanjutnya, berani melakukan divestasi terhadap Freeport karena di situ cadangannya sudah well define. Sebab sudah lama dilakukan eksplorasi oleh PT Freeport.
“Bahan tambang itu kita berhubungan dengan barang-barang yang ada di bawah tanah. Sejauh ini teknologi yang kita butuhkan itu semakin membutuhkan teknologi yang lebih bisa mendeteksi potensi yang ada di bawah, artinya kita akan semakin banyak cost,” jelasnya.
Masalah perbedaan biaya produksi mineral ini juga turut diakui Syahrir Ika. Menurutnya besar kecilnya biaya tergantung pada jenis mineral dan proses penambangan dan/atau pengolahan mineral. Ia menjelaskan biaya penambangan bauksit dan nikel akan relatif rendah dibandingkan dengan penambangan emas dan tembaga karena penambangannya di atas permukaan tanah (open pit mining).
Sedangkan, biaya penambangan emas dan tembaga tergantung pada jenis penambangannya. Penambangan bawah tanah (undergrown mining) akan lebih mahal dibandingkan dengan penambangan terbuka (open pit mining).
Sementara dalam proses pengolahan atau pemurnian, besar kecilnya biaya tergantung pada teknologi yang digunakan dan sumber energinya. Pabrik pengolahan atau pemurnian yang energinya bersumber dari tenaga air (PLTA) atau tenaga gas (PLTG) lebih murah dibandingkan dengan BBM atau batubara (PLTU).
Mahalnya biaya pengolahan mineral, telah mendorong perusahaan-perusahaan tambang memilih konsentrasi di hulu tambang (upstream mining) dibandingkan dengan di hilir, sehingga nilai tambahnya menjadi relatif rendah.
Lebih jauh dijelaskan dari pengamatan Arifudin, ia menilai ada beberapa alasan mengapa eksplorasi belum gencar atau belum dilakukan dengan baik saat ini. Alasannya antara lain mulai dari fluktuasi harga komoditas mineral logam hingga adanya hambatan regulasi. Terkait regulasi, terdapat Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Minerba yang pelaksanaannya belum secara penuh dilakukan hingga ke daerah-daerah.
“Misalkan untuk mendapatkan IUP (Surat Izin Pertambangan) baru, sekarang kan harus dilelang, misalkan. Kemudian, mekanisme lelang untuk IUP saja belum jelas sampai sekarang,” keluhnya. (Bernadette Aderi, Shanies Tri Pinasthi, Sanya Dinda)