Program Mobil Listrik Pacu Hilirisasi Bijih Nikel
JAKARTA - Chief Economist TanamDuit Ferry Latuhihin memberikan proyeksi pengolahan nikel bagi perekonomian nasional. Menurutnya, aturan larangan ekspor bijih nikel itu bukanlah barang baru atau sudah sejak tahun 2014 dan tertuang dalam UU No. 4/2009. Jadi sejak ketika masih era Presiden SBY.
"Tujuannya waktu itu adalah memaksa pemilik IUP (izin usaha pertambangan) untuk membangun smelter supaya hasil kekayaan alam kita punya nilai tambah. Jadi bukan cuma ekspor bijih nikelnya saja. Harus jadi ferro nikel dulu baru diekspor. Banyak pemilik IUP yang kesulitan karena mereka tidak punya modal untuk membangun smelter ," kata Ferry hari ini (7/1) di Jakarta. ( Baca juga:Bahlil: di 2035 Indonesia Mencanangkan 4 Juta Mobil dan 10 Juta Motor Listrik, Aminnn!! )
Namun sekarang dia mengaku lebih optimistis dengan munculnya mobil listrik sehingga tentu akan berbeda. Pabrikan tentu akan membangun smelter memang ditujukan untuk kebutuhan fabrikasi produknya. "Jadi tidak ada risiko harga produk akhir, karena itu akan diperhitungkan dalam harga jual produk akhir, yaitu mobil listrik," jelasnya.
Lebih lanjut dia mengingatkan, kebijakan ini akan berpengaruh pada ekonomi nasional karena tren green energy adalah masa depan atau unstoppable. "Kita bisa menjadi produsen baterai terbesar di dunia kalau pemerintah bisa bermain cantik mengundang investor masuk ke negara kita," sebutnya.
Berbeda dengan kondisi dulu karena tidak ada yang berani menerima risiko fluktuasi harga ferro nickel di dunia lantaran risikonya sangat besar. Walaupun punya uang, pengusaha akan berpikir untuk membangun smelter karena risikonya yang sangat besar. "Selain itu infrastrukturnya juga belum ada. Listrik misalnya sangat penting untuk membangun Rotary Kiln. Bukan blast furnace yang merusak lingkungan," katanya.
Sementara VP for Industry and Regional Research Bank Mandiri Dendi Ramdani juga mengatakan pelarangan ekspor biji Nikel akan mendorong perkembangan industri baterai dan mungkin sampai industri mobil listrik. Bahkan juga beserta ekosistem industrinya.
Namun di lain sisi dia melihat ada risiko sektor pertambangan nikel menjadi tertekan karena hanya bisa menjual ke buyers dalam negeri. "Oleh karenanya harga bijih nikel domestik seharusnya mengikuti pergerakan harga internasional," jelas Dendi.