a a a a a
logo
Short Landscape Advertisement Short ~blog/2022/2/1/pak prihadi
Bersama Kita Membangun Kemajuan Industri Smelter Nasional
News

Protes Izin Tambang Pasir, Warga Pulau di Makassar Menginap di Kantor Gubernur Sulsel

Merdeka.com - Warga pulau di Makassar masih bertahan dan menginap di depan pintu gerbang kantor Gubernur Sulsel di jl Urip Sumohardjo, Jumat, (14/8).

Mereka berunjuk rasa sejak Kamis (13/8) siang. Mereka mendesak Gubernur Sulsel, Nurdin Abdullah mencabut izin kegiatan tambang pasir laut oleh PT Royal Boskalis, perusahaan asal Belanda, di wilayah tangkap ikan nelayan. Khususnya yang ada di sekitar Pulau Kodingareng dan Pulau Sangkarrang.

Alasannya, kegiatan ini dinilai telah merusak wilayah tangkap ikan yang mempengaruhi sumber pendapatan para nelayan.

Lantaran tidak kunjung ditemui Gubernur Nurdin Abdullah, mereka pun memilih menginap. Mereka tidur di depan pintu gerbang. Menggunakan alas seadanya. Didampingi aktivis Walhi dan jaringannya.

Direktur eksekutif Walhi Sulsel, Muhammad Al Amin mengatakan, aksi warga pulau akan dilanjutkan hari ini. Apalagi ada dua orang dari peserta aksi dijemput paksa polisi dari Direktorat Polairud Polda Sulsel pukul 08.00 wita tadi.

"Hari ini aksi masih terus berlanjut. Dua orang kita dijemput paksa oleh polisi pagi tadi saat baru mendarat di dermaga Kayu Bangkoa, atas nama Manre, (70) seorang nelayan asal Pulau Kodingareng dan Slamet, (25), aktivis Walhi yang tengah lakukan pendampingan," kata Muhamma Al Amin saat ditemui di depan pintu gerbang kantor Gubernur Sulsel.

Al Amin menceritakan, Manre ditetapkan sebagai tersangka kasus pengerusakan mata uang dengan cara merobeknya. Aksi ini dilakukan saat menolak pemberian amplop berisi uang dari PT Royal Boskalis. Amplop berisi uang itu ditolak sebagai bentuk gratifikasi atau pemberian yang tidak wajar.

warga pulau di makassar protes izin tambang pasir laut menginap dan masih bertahan di gerbang kantor gubernur sulsel

Menurut Al Amin, seharusnya anggota Polairud tidak menggunakan penangkapan dalam upaya penegakan hukum.

"Saya pikir, penangkapan secara paksa seperti itu kurang baik, sudah sangat keterlaluan. Apalagi aktivis kami yang sementara mendampingi nelayan itu ikut diambil polisi. Kami mengutuk keras proses penangkapan terhadap nelayan dan aktivis kami," kata Al Amin.

Manre dan Slamet diambil polisi saat dari Pulau Kodingareng mendarat di dermaga Kayu Bangkoa sekitar pukul 08.00 wita.

Padahal, terang Al Amin, Manre dan beberapa kawannya tinggalkan Pulau Kodingareng untuk mengurus kuasa hukum dari LBH. Slamet mendampingi karena nelayan itu belum begitu tahu alamat kantor LBH. Tapi belum lagi masuk kota, masih di dermaga, mereka keburu ditangkap.

"Bagi kami, kasus Manre ini adalah kriminalisasi nelayan yang berjuang keras menyelamatkan laut, ruang hidup mereka dari kerusakan akibat tambang pasir laut," ucap Al Amin. [noe]