JAKARTA — Daya tarik Indonesia sebagai tujuan investasi langsung terus meningkat. Pemerintah optimistis peningkatan ketersediaan kawasan industri bisa mempercepat realisasi investasi di sektor manufakturLaporan Global Investment Trends Monitor yang dirilis Badan PBB untuk Perdagangan dan Pembangunan (The United Nations Conference on Trade and Development/ UNCTAD) pada 6 Oktober menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara tujuan utama investasi menurut petinggi perusahaan-perusahaan multinasional.
Indonesia merupakan negara yang disorot dalam survei tersebut karena menjadi salah satu pilihan ratusan CEO multinasional berkelas dunia. Sebanyak 8% dari para bos perusahaan multinasional yang disurvei UNCTAD menjadikan Indonesia sebagai lokasi investasi paling prospektif. Posisi Indonesia dalam negara tujuan investasi paling atraktif naik dari peringkat 14 pada survei 2014 menjadi peringkat 9 pada survei 2016.
Laporan tersebut juga menunjukkan minat investasi yang tinggi ke sektor manufaktur. Sekitar 57% pelaku bisnis global menyatakan arus investasi ke sektor manufaktur akan naik pada 2017, dibandingkan dengan sektor primer (20%) dan sektor jasa (51%). Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan peningkatan jum- lah kawasan industri membuat Indonesia semakin siap menerima aliran investasi ke sektor manufaktur. Ketersediaan kawasan industri yang lengkap dengan infrastruktur penunjang adalah solusi dari permasalahan lahan yang sebelumnya kerap dihadapi oleh investor baru (greenfield).
“Pemerintah menawarkan kawasan industri yang siap, baik secara infrastruktur hard, seperti pelabuhan dan akses soft infrastructure, seperti gas dan listrik, di Dumai, Jabodetabek, Kendal, Gresik, dan Bontang” katanya kepada Bisnis, Minggu (9/10).
Airlangga berharap semakin banyak investasi mengalir ke sektor industri antara dan hilir yang dinilai berpotensi memperkuat struktur industri manufaktur di Tanah Air. Dia mengatakan beberapa sektor industri antara dan hilir yang potensial adalah indsutri stainless steel, industri komponen otomotif, industri pangan, industri petrokimia, industri oleokimia, industri garmen, industri furnitur, dan industri digital. “Khusus buat sektor industri hulu dan industri agro yang berinvestasi di atas Rp1 triliun ada potensi mendapatkan fasilitas tax allowance, ” kata Menperin.
KONSISTENSI KEBIJAKAN Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengatakan kunci dari realisasi minat investasi asing di Indonesia adalah keseriusan birokrasi memperbaiki iklim usaha dan konsistensi kebijakan pemerintah. Dia menjelaskan ketidakmampuan birokrasi merealisasikan keputusan politik pemerintah adalah faktor utama yang menghambat realisasi investasi di Tanah Air. Permasalahan birokrasi membuat berbagai kebijakan pemerintah menjadi sia-sia karena gagal terimplementasi sesuai tujuan.
Permasalahan konsistensi kebijakan pemerintah yang disorot Hariyadi adalah rencana pemerintah melonggarkan aturan larangan ekspor mineral. Dia menilai rencana relaksasi aturan larangan ekspor mineral merugikan pengusaha yang sudah mengucurkan modal mendirikan industri hilir dan malah menguntungkan perusahaan tambang yang enggan mendirikan smelter.
“Pemerintah suruh buat smelter, mereka bangun smelter, sekarang mau dibolehkan ekspor lagi. Harusnya mereka yang bangun smelter diberikan insentif, bukan beri insentif ke mereka yang belum bangun. Ini semua investor jadi bertanya-tanya,” kata Hariyadi. Laporan UNCTAD juga menunjukkan peningkatan pesat minat investasi ke negara lain di Asean yaitu Malaysia, Filipina, Myanmar, dan Vietnam.
Filipina dan Myanmar masuk dalam daftar 15 negara tujuan investasi utama. Negara tujuan investasi nomor satu adalah Amerika Serikat. Sekitar 47% responden menempatkan AS sebagai prospek utama dan menggeser China ke posisi kedua. Di sisi lain, para pemerintah dunia kini menempatkan China sebagai negara potensi asal investasi utama. China menggeser Amerika Serikat dari posisi puncak ke posisi kedua, diikuti oleh United Kingdom, Jerman, dan Prancis.
Laporan UNCTAD menyatakan mayoritas responden yang menempatkan China sebagai potensi investor utama adalah badan promosi investasi yang dari wilayah Afrika. UNCTAD memperkirakan arus investasi langsung global akan merosot 10% —15% pada 2016. Namun, aktivitas investasi langsung diproyeksikan kembali tumbuh 7% pada 2017 dan tumbuh 8% pada 2018.
ONGKOS PRODUKSI TINGGI Pelaku Lebih Milih Impor Billet JAKARTA — Pelaku industri baja lebih memilih mengimpor billet dibandingkan memanfaatkan scrapdomestik dengan alasan harga yang lebih murah sebagai bahan baku. South East Asian Iron and Steel Institute (Seaisi) melaporkan suplai domestik scrap baja atau besi tua yang biasanya digunakan sebagai bahan baku untuk menghasilkan billet naik signifikan hingga dua kali lipat menjadi 4 juta ton.
Adapun impor scrap baja tercatat mengalami penurunan dari 3 juta ton menjadi 1 juta ton pada 2015. Wakil Ketua Indonesia Iron & Steel Industry Association (IISIA) Ismail Mandry mengatakanbanyak perusahaan dalam negeri yang lebih memilih impor billet ketimbang memproduksi scrap baja. Akibatnya, beberapa fasilitas pabrik peleburan baja untuk memproduksi billet terpaksa dihentikan.
“Harga billet selisihnya dengan scrap lebih mahal US$100—US$120. Kalautidak impor scrap akhirya beli billet 4 juta—5juta ton untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Jadi US$400 juta—US$500 juta devisa negara hilang,” ungkapnya. Namun, jika tetap menggunakan impor scrapbaja, pelaku usaha masih dihadapkan dengan peraturan Permendag No.31/2016 tentang Ketentuan Impor Limbah Non Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) yang mengatur masalah impuritas.
“Di Indonesia besi tua termasuk limbah non-B3 harus bersih dan kering. Itu tentu menyulitkan kami sebagai pelaku yang melaksanakan kegiatan seperti ini. Belum lagi harga gas yang masih tinggi sehingga dapur peleburan anggotakami itu tutup semua,” jelasnya.
Direktur Utama anak perusahaan Krakatau Steel, PT KHI Pipe Industries Purwono Widodo mengatakan tidak konsistennya industri dalam negeri dalam mensuplai scrap baja membuat perusahaan pengguna scrap lebih memilih mengimpor billet.