Realisasi Investasi Smelter Freeport Mendekati USD120 Juta
Jakarta, InfoPublik - PT Freeport Indonesia berupaya memenuhi kewajibannya dalam hal pembangunan smelter. Hingga saat ini realisasi kemajuan pembangunan smelter milik Freeport Indonesia per September 2018 mencapai 4,7 persen. atau setidaknya dalam hal investasi hampir mencapai USD120 juta.
Beberapa waktu lalu Pemerintah RI bersama dengan PT Freeport Indonesia (PTFI) telah menandatangani Head of Agreement yang merupakan perjanjian dasar terkait kerja sama maupun transaksi. Perjanjian yang dimaksud adalah mengenai hak-hak operasi jangka panjang PTFI, yang diuraikan ke dalam empat poin.
Pertama, izin PTFI yang akan diubah dari Kontrak Karya (KK) jadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dan sekaligus memberikan hak operasi hingga 2041.
Kedua, pemerintah menjamin kepastian fiskal dan hukum selama jangka waktu IUPK berlaku. Ketiga, PTFI berkomitmen membangun smelter baru di Indonesia dalam jangka waktu lima tahun.
Keempat dan yang terakhir, FCX setuju divestasi kepemilikannya di PTFI berdasarkan harga pasar yang wajar sehingga kepemilikan Indonesia atas PTFI jadi 51 persen.
Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Bambang Susigit dalam diskusi bertema "Skenario Bisnis Pasca Akuisisi Freeport" di Jakarta, Senin (17/9) mengatakan, Pemerintah telah memberikan tenggat 5 tahun (Januari 2017-Januari 2022) kepada perusahaan tambang untuk membangun fasilitas pemurnian (smelter) tembaga, termasuk PT Freeport Indonesia.
Selama tenggat tersebut, perusahaan tambang diperbolehkan mengekspor mineral mentah seperti konsentrat tembaga, bijihi nikel, dan bijih bauksit.
Bambang mengungkapkan, capaian investasi PTFI tersebut belum dalam bentuk pembangunan fisik. Namun, baru secara administrasi atau baru dalam tahap perencanaan awal.
"Freeport berencana membangun satu smelter baru dengan kapasitas 2 juta ton konsentrat tembaga per tahun. Smelter dengan biaya investasi mencapai USD2,2 miliar tersebut akan dibangun di Gresik, Jawa Timur.
Bambang menjelaskan, bila pembangunan smelter perusahaan tak mengalami perkembangan, pemerintah bisa saja mencabut rekomendasi izin ekspor perusahaan. Namun, dia meyakini tiap perusahaan memegang komitmennya untuk membangun smelter.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pihaknya tengah menyusun peraturan pemerintah (PP) mengenai stabilitas investasi yang menjadi modal bagi Freeport Indonesia dalam menjalankan usahanya di Indonesia.
Dia menjelaskan, PP stabilitas ini mengatur keseluruhan kewajiban penerimaan negara yang berasal dari perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS) itu.
Menurut Menkeu, komponennya itu sudah dibahas oleh dua belah pihak, dan bandingkan dengan yang dulu dari contract of work tapi karena mandat yang disampaikan UU Minerba Pasal 169, pasalnya itu Indonesia harus mendapatkan penerimaan negara lebih tinggi.
"Jadi yang kami lakukan adalah membuat skenario harga copper, emas, kita lihat berapa komponen yang berasal dari PPh, dari bagi hasil, dari pendapatan atau iuran pendapatan yang dibagi antara pusat dan daerah, kemudian ada PBB, PPN, ada pajak yang dipungut oleh daerah," sambung dia.
Dengan demikian, kata Sri Mulyani, penerimaan yang didapat negara dari PTFI akan lebih besar. Namun, hal tersebut masih tergantung dari negosiasi empat komponen yang sudah dimulai prosesnya.
Papua Masih Memiliki Kekayaan Emas
Ketua Umum Ikatan Ahli Geologi Indonesia, Sukamandaru Prihatmoko mengatakan, wilayah Indonesia Bagian Timur khususnya di kawasan Papua masih memiliki kekayaan emas.
"Indonesia bagian timur sumber daya alamnya masih kaya. Untuk kandungan emas sendiri di Papua sebanyak 3.531 ton, sedangkan untuk tembaga sebanyak 42 juta ton," ucap Sukamandaru.
Selain itu, Sukamandaru juga mengatakan bahwa kekayaan emas di Indonesia mencapai 7.311 ton. Ia juga mengatakan, setelah selama 40 tahun Freeport hadir di Indonesia, masih banyak sumber daya alam yang bisa diproduksi, khususnya di Papua.
"Freeport pada dasarnya sudah siap untuk melakukan eksplorasi, khususnya tambang bawah tanah," kata Sukamandaru.
Ketua Indonesian Mining Institute (IMI) Irwandy Arif mengatakan eksplorasi bawah tanah yang akan dilakukan PTFI bukan perkara mudah bagi Freeport meski cadangannya melimpah ruah.
Menurut Irwandy, proses penambangan bawah tanah ini membutuhkan teknologi yang jauh lebih canggih ketimbang tambang terbuka. Teknologi itu pun perlu didukung dengan ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni.
"Hal ini juga akan menjadi pekerjaan rumah baru bagi PT Indonesia Asahan Alumunium Persero (Inalum) sebagai induk perusahaan holding tambang yang berhasil mengambil hak 51 persen saham Freeport," ujar Irwandy.