Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah telah memberikan tenggat 5 tahun (Januari 2017-Januari 2022) kepada perusahaan tambang untuk membangun fasilitas pemurnian (smelter) tembaga.
Selama tenggat tersebut, perusahaan tambang diperbolehkan mengekspor mineral mentah seperti konsentrat tembaga, bijihi nikel, dan bijih bauksit.
Sementara itu, PT Freeport Indonesia belum mulai melakukan pembangunan fisik fasilitas pengolahan dan pemurnian atau smelter tembaga.
Perusahaan tambang asal Amerika Serikat tersebut baru memulai studi kelayakan, analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), rekayasa dasar.
Padahal, kewajiban pembangunan smelter sudah dimulai sejak awal 2017 ketika pemerintah tetap memperbolehkan Freeport Indonesia mengekspor konsentrat tembaga. Pemerintah memberikan tenggat kepada seluruh perusahaan tambang yang masih mengekspor mineral mentah untuk membangun smelter paling lambat awal 2022.
"[Realisasi pembangunan smelter Freeport] hampir US$120 juta itu untuk semua, dari studi kelayakan, amdal, rekayasa dasar, dan lainnya," kata Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Bambang Susigit, Senin (17/9).
Dia menyebutkan, dengan realisasi penggunaan dana US$120 juta tersebut, realisasi kemajuan pembangunan smelter milik Freeport Indonesia per September 2018 mencapai 4,7%.
Bambang menambahkan, Freeport telah menyampaikan laporan realisasi tersebut kepada Kementerian ESDM. Namun, laporan tersebut masih perlu dievaluasi dalam waktu 14 hari.
"Kalau dari realisasi berdasarkan evaluasi surveyor sudah tercapai [target kemajuan pembangunan]," katanya, Senin (17/9).
Menurutnya, capaian tersebut belum dalam bentuk pembangunan fisik. Namun, baru secara administrasi atau baru dalam tahap perencanaan awal.
Bambang menutrukan, pada capaian tersebut, secara keseluruhan Freeport telah merealisasikan investasi sekitar US$120 juta.
Freeport berencana membangun satu smelter baru dengan kapasitas 2 juta ton konsentrat tembaga per tahun. Smelter dengan biaya investasi mencapai US$2,2 miliar tersebut akan dibangun di Gresik, Jawa Timur.
Bambang menjelaskan, bila pembangunan smelter perusahaan tak mengalami perkembangan, pemerintah bisa saja mencabut rekomendasi izin ekspor perusahaan. Namun, dia meyakini tiap perusahaan memegang komitmennya untuk membangun smelter.
"Apalagi perusahaan besar itu kan jaga reputasi, ini masalah waktu saja. Bayangkan 30 perusahaan setahun 4 kali diverifikasi oleh surveyor yang sama, jadi ada yang telat. Namun, saya rasa tidak ada yang berani dari kewajiban," katanya.
Sanksi yang berlaku bila perusahaan tak memenuhi rencana pembangunan smelternya hanya berupa pencabutan rekomendasi ekspor.
Terkait dengan sanksi finansial, katanya, baru akan diterapkan bagi pengajuan rekomendasi izin ekspor yang diajukan setelah Agustus 2018.
Pemerintah menerapkan sanksi finansial bagi eksportir mineral mentah dan konsentrat yang tidak mencapai target pembangunan smelter dari rencana kemajuan fisik yang dievaluasi per 6 bulan.
Berdasarkan Permen ESDM No. 25/2018, sanksi tersebut berupa denda 20% dari nilai kumulatif penjualan mineral ke luar negeri.
Persentase tersebut lebih besar dari kajian awal Kementerian ESDM yang pertama kali disampaikan pada akhir November 2017. Kala itu, besaran denda direncanakan sebesar 10%.
Permen tersebut diterbitkan pada Mei 2018. Perusahaan yang mengajukan rekomendasi izin ekspor sebelum beleid berlaku tidak akan dikenakan sanksi finansial bila target rencana pembangunan tak terpenuhi.
"Denda tidak berlaku surut setelah Permen 25 Mei. Perusahaan diberi waktu 3 bulan, jadi berlakunya mulai 1 Agustus 2018. Yang ke depan kalau ada perpanjangan, dia tidak capai, baru kena," katanya. (Denis Riantiza M.)