a a a a a
logo
Short Landscape Advertisement Short ~blog/2022/2/1/pak prihadi
Bersama Kita Membangun Kemajuan Industri Smelter Nasional
News

Relaksasi Ditanggapi Beragam

Relaksasi Ditanggapi Beragam
JAKARTA — Pemerintah berencana untuk melakukan relaksasi izin ekspor mineral hasil olahan atau konsentrat untuk jangka waktu tiga hingga lima tahun. Hanya, industri dalam negeri menanggapi beragam terkait rencana tersebut

Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) menilai, langkah Pelaksana Tugas (Plt) Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Luhut Binsar Pandjaitan kurang tepat untuk melonggarkan kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah. Sebab, selama ini perusahaan pengolahan dan pemurnian (smelter) yang sudah ada saja masih membutuhkan pasokan mineral dari perusahaan tambang.

Ketua Umum AP3I Prihadi Santoso mengatakan, kebijakan yang akan diambil ini tidak selaras dengan keinginan pemerintah untuk meningkatkan nilai tambah produk dalam negeri, khususnya mineral tambang. Padahal, peningkatan nilai tambang sudah tercantum pada Undang-Undang (UU) No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, UU No 3 Tahun 2013 tentang Perindustrian, dan Peraturan Pemerintah (PP) Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

"Kita tahu bahwa pada 12 Januari 2017 ini batas waktu ekspor mineral olahan konsentrat, yang artinya tidak ada lagi mineral (bukan bijih/ore) yang diekspor. Atau dalam bahasa lain sudah tidak boleh lagi ekspor tanah dan air," kata Prihadi dalam konferensi pers, Rabu (7/9).

Menurut Prihadi, ketika pemerintah melakukan kebijakan relaksasi ekspor bijih, komitmen pemerintah akan dipertanyakan banyak pihak, termasuk investor luar negeri. Investor akan menganggap bahwa pemerintah tidak serius dan tidak mempunyai konsep jelas dalam melakukan program hilirisasi peningkatan nilai tambah sumber daya mineral.

Selain berdampak negatif pada iklim investasi yang saat ini ingin diperkuat pemerintah melalui sejumlah paket kebijakan, relaksasi mineral juga bisa mempersulit pasokan mineral untuk perusahaan smelter di dalam negeri. Padahal, selama ini perusahaan smelter yang ada dalam asosiasi saja mampu menginvestasikan dana sebesar 12 miliar dolar.

Nilai ini bisa bertambah jika saja pemerintah memegang teguh komitmen dalam UU No 4 Tahun 2009. Prihadi menuturkan, relaksasi mineral juga bertentangan dengan keinginan Presiden Joko Widodo yang ingin meningkatkan kualitas perusahaan smelter dalam negeri.

Sebab, dengan perbaikan industri smelter dan hasil yang dikeluarkan, nilai tambah bagi industri pertambangan dalam negeri bisa semakin baik. "Pembangunan smelter di dalam negeri harus didukung semua pihak. Karena bukan hanya berinvestasi, perusahaan smelter juga bisa membuat mineral dalam negeri memiliki nilai tambah," kata dia.

Sementara itu, PT Aneka Tambang (Antam) mendukung keputusan pemerintah soal ekspor mineral mentah. Direktur Utama Antam Tedy Badrujaman mengatakan, Antam mendukung ekspor mengingat produksi mineral mentah yang sangat besar.

Tedy menilai, banyaknya produksi mineral mentah yang diperoleh oleh Antam bisa menjadi salah satu sumber pemasukan. Tetapi, Tedy mengatakan, ekspor mineral mentah ini bukan berarti memberikan pasokan maksimal bagi ekspor, melainkan memberdayakan produksi yang selama ini tak terserap di dalam negeri.

Tedy mengatakan, setidaknya Antam bisa memproduksi sekitar 900 juta ton biji nikel mentah per tahun. Padahal, penyerapan dari hasil produksi ini hanya 1,5 hingga 2 juta ton per tahun. "Kita sangat mendukung hilirisasi. Kita punya tiga pabrik dan akan memasuki pembangunan pabrik keempat. Kita butuh sokongan dana untuk ini. Tentu untuk meningkatkan program pemerintah," ujar Tedy.

Ketua Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Tino Ardhyanto mengatakan, rencana pemerintah terkait izin ekspor konsentrat memiliki salah satu dampak positif. Salah satunya adalah memaksimalkan stockpile yang selama ini menumpuk dan terbuang sia-sia.

Tino mencontohkan, pada bijih nikel misalnya, ada banyak produksi bijih nikel yang ada di Indonesia. Tetapi, selama ini penyerapan konsumsi bijih nikel di dalam negeri tak banyak, sedangkan stockpile yang ada di perusahaan tambang banyak.

Pengamat energi, Fabby Tumiwa, menilai, dalam hal ini pemerintah harus tegas dalam mengamalkan undang-undang. Fabby menilai, untuk mendapatkan win win solution terkait hal ini, pemerintah perlu membuat peraturan penjelasan UU Minerba terkait hal ini. Misalnya, dalam hal hilirisasi, pemerintah juga tetap harus ketat. Para perusahaan tambang bagaimanapun harus bisa membangun smelter sesuai amanat undang-undang. "Tapi ini kan perusahaan juga tidak konsekuen dengan kesepakatan pembangunan smelter. Pembangunan mereka lambat. Jadi, ini dilematis juga," ujar Fabby saat dihubungi Republika, Rabu (7/9).

Namun, menurut Fabby, untuk memberikan ruang bagi perusahaan agar usahanya terus berjalan, pemerintah bisa memberikan izin ekspor mineral mentah ini dengan kuota tertentu. Jangan sampai izin ekspor ini malah membuat perusahaan melakukan ekspor besar-besaran yang berakibat sedikitnya insentif bagi negara.

Republika.co.id