Jakarta - Koalisi masyarakat sipil menolak kebijakan relaksasi ekspor mineral. Eksploitasi sumber daya alam yang semakin masif hanya akan menyebabkan keterancaman lingkungan.
Untuk itu, koalisi ini meminta Presiden Joko Widodo menghentikan rencana revisi Peraturan Pemerintah (PP) No 1 Tahun 2014 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara yang diusulkan oleh Plt Menteri Energi Sumber Daya Mineral, Luhut Binsar Panjaitan.
Melalui revisi PP No 1 Tahun 2014 ini pemerintah akan membuka kembali tidak hanya keran ekspor mineral konsentrat, tetapi juga ekspor bauksit, nikel dan mineral jarang hingga maksimum tahun 2021.
Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Khalisah Khalid, mengatakan, dengan adanya kelonggaran maka keterancaman terhadap sumber daya alam semakin meningkat.
"Eksploitasi yang terus meningkat akan meningkatkan pula risiko terhadap lingkungan," katanya di Jakarta, Selasa (11/9).
Ia menyayangkan, isu lingkungan nyaris tidak menjadi isu penting di industri pertambangan. Keuntungan dan nilai tambah ekonomi selalu menjadi orientasi. Negara seolah-olah tergantung pada ekonomi "palsu" dan terus melayani industri pertambangan yang menguras kekayaan alam, penghancuran lingkungan hidup dan mengancam keselamatan warga.
Walhi berpandangan ada konflik kepentingan yang kuat di antara pejabat publik yang mengusulkan revisi PP No 1 Tahun 2014. Kepala Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Melky Nahar, mengungkapkan, rencana revisi PP No 1 Tahun 2014 merupakan pelanggaran kesekian kalinya atas Undang-Undang No 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba).
Kemudian, penerbitan Permen ESDM No 11 Tahun 2014 memberikan toleransi pelonggaran ekspor melalui persentase progres pembangunan smelter.
"Dimana salah satu syarat bagi perusahaan untuk mendapatkan rekomendasi izin ekspor adalah progress pembangunan smelter hingga mencapai 60%," ucapnya.
Belakangan terbit lagi Permen ESDM No 5 Tahun 2016 yang menghapus ketentuan syarat progress pembangunan smelter untuk mendapatkan perpanjangan ekspor mineral. Terbitnya aturan ini diduga bertepatan dengan pengajuan perpanjangan ekspor konsentrat oleh PT Freeport Indonesia yang progress smelter-nya hanya mencapai 14%.
Manajer Advokasi dan Jaringan Publish What You Pay, Aryanto Nugroho, menyatakan, relaksasi ekspor mineral akan memicu kembali laju eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran.
"Hal ini akan mempercepat daya rusak lingkungan, minim standar keselamatan dan menimbulkan tragedi kemanusiaan," tuturnya.
Aryanto menambahkan, alih-alih melaksanakan janji moratorium sebagaimana dinyatakan Presiden beberapa bulan silam, pelonggaran keran ekspor mineral justru menimbulkan ketidakadilan bagi sebagian pelaku ekonomi yang telah membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter).
Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice, Rachmi Hertanti mengungkapkan, relaksasi ekspor mineral mentah yang kembali dibuka oleh pemerintah akan menimbulkan perlakuan diskriminatif bagi investor yang telah membangun smelter di Indonesia.
"Pemerintah harus meninggalkan ketergantungan pada ekonomi palsu pertambangan yang melanggengkan kekayaan alam dan mengancam keselamatan rakyat," ucapnya.