JAKARTA– Para pelaku industri nikel di dalam negeri mengeluhkan keputusan pemerintah merelaksasi aturan ekspor mineral. Relaksasi telah menyebabkan harga nikel anjlok sekitar 12% sejak aturan itu diterbitkan pada awal tahun ini.
Selain itu, sebanyak 11 pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) nikel berhenti berproduksi dan ribuan orang kehilangan pekerjaan seiring jatuhnya harga komoditas tersebut di pasar dunia.
“Relaksasi ekspor harus dicabut. Saat ini ada 20 smelter nikel, semuanya rugi dan kecewa terhadap kebijakan pemerintah membuka keran ekspor nikel. Apa yang diinginkan pemerintah? Setelah dunia usaha diimbau berinvestasi, bukannya diberi insentif, malah disuruh rugi,” kata Wakil Ketua Asosiasi Perusahaan Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) Jonatan Handojo kepada Investor Daily di Jakarta, akhir pekan lalu.
Jonatan mengungkapkan, ke-11 smelter nikel yang berhenti beroperasi adalah milik PT Karyatama Konawe Utara, PT Macika Mineral Industri, PT Bintang Smelter Indonesia, PT Huadi Nickel, PT Titan Mineral, PT COR Industri, PT Megah Surya, PT Blackspace, PT Wan Xiang, PT Jinchuan, dan PT Transon.
Di sisi lain, menurut dia, ada sekitar 12 perusahaan smelter nikel yang merugi akibat jatuhnya harga, yaitu PT Fajar Bhakti, PT Kinlin Nickel, PT Century, PT Cahaya Modern, PT Gebe Industri, PT Tsingshan (SMI), PT Guang Ching, PT Cahaya Modern, dan PT Heng Tai Yuan.
Lainnya PT Virtue Dragon, PT Indoferro, dan pemain lama, PT Vale Indonesia Tbk. Adapun PT Aneka Tambang Tbk (Antam) hanya meraih laba bersih Rp 6 miliar pada kuartal I-2017.