a a a a a
logo
Short Landscape Advertisement Short ~blog/2022/2/1/pak prihadi
Bersama Kita Membangun Kemajuan Industri Smelter Nasional
News

Renegosiasi Kontrak Freeport Bikin RI Kehilangan Rp 1,8 T

Jakarta, CNBC Indonesia - Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melaporkan masih ada penyimpangan dalam pelaksanaan aturan perpajakan. Hal ini merupakan audit atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun anggaran 2018.

Sesuai Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I- 2019, salah satu yang menyebabkan adanya penyimpangan tersebut berasal dari PT Freeport Indonesia (PTFI).

Di dalam laporan IHPS, dikatakan, nota kesepahaman antara Kementerian ESDM dan PT FI bertentangan dengan tarif bea keluar yang ditetapkan oleh Kementerian Keuangan.


Hal ini, menyebabkan, adanya potensi restusi atas ekspor konsentrat tembaga PT FI sebesar Rp 1,82 triliun.

Dihubungi CNBC Indonesia, juru bicara PTFI Riza Pratama mengatakan, pihaknya akan melakukan pengecekan terlebih dahulu atas temuan BPK tersebut.

"Kami cek dulu ya," kata Riza, Kamis (19/9/2019).

Di sisi lain, PTFI juga tengah mengerjakan pembangunan fasilitas pengolahan, atau smelter. Ditemui di kesempatan terpisah, Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral Ditjen Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM Yunus Saefulhak mengatakan, saat ini pengerjaan smelter PTFI baru 3,8%.

"Ya walaupun masih 3,8%, saya sudah lihat tempatnya, lagi pematangan lahan. Sudah kelihatan banyak kegiatan, sampai diborin untuk menghilangkan airnya karena di dalamnya ada lapisan lumpurnya supaya dia tidak goyang, supaya stabil, dan itu kegiatannya banyak sekali," kata Yunus saat dijumpai di Kementerian ESDM, Jakarta, Kamis (19/9/2018).

Adapun, sebelumnya, Presiden Direktur PTFI Tony Wenas mengatakan, smelter PTFI merupakan smelter terbesar di dunia yang dibangun dalam 2 tahun terakhir.

"Ini akan mengguncang dunia, karena nanti pasokan konsentrat kami akan dipasok ke smelter ini," kata Tony, di Gresik, Sabtu (24/8/2019).

Anggaran yang dibutuhkan untuk membangun smelter ini cukup besar, yaitu US$ 3 miliar atau sekitar Rp 42 triliun. Hingga saat ini, Freeport sudah mengeluarkan kocek sekitar US$ 150 juta untuk persiapan pembangunan smelter ini, mulai dari desain, pembayaran sewa lahan, hingga pemadatan tanah.

Biaya sewa lahan juga sudah dibayar oleh Freeport kepada pengelola JIIPE selama 5 tahun.

Smelter ini bukan proyek yang menguntungkan buat Freeport. Karena margin keuntungan dari bisnis smelter sangat kecil. Dari perhitungan pihak Freeport, dana investasi smelter baru bisa kembali dalam 20 tahun. Berat memang...

Jadi, smelter ini baru akan beroperasi 2023, bila balik modalnya 20 tahun, maka dana investasi baru bisa tertutup pada 2043. Sementara kontrak Freeport di Papua habis 2041. Belum balik modal, kontrak sudah habis.

Berat dan tipisnya margin smelter tembaga ini, terlihat dari bisnis PT Smelting, smelter di Gresik yang dimiliki oleh Freeport dan Mitsubishi. Smelter ini sudah beroperasi sejak 1999 dan bisa memiliki kapasitas pengolahan 1 juta ton konsentrat per tahun, yang saat ini menghasilkan katoda tembaga sekitar 300 ribu ton per tahun.

Dari data pengelola smelter ini, dalam setiap pon konsentrat, margin pengolahan yang didapat oleh smeltar hanya 24 sen. PT Smelting harus terus efisien sehingga bisa untung dari bisnis smelter tembaganya.

Sementara dari perhitungan Tony Wenas, Presdir Freeport, bila bisnis smelter baru Freeport mau terus berjalan, maka biaya pengolahan itu harus mencapai 60 sen/pon konsentrat. Sementara biaya pengolahan rata-rata di smelter saat ini berkisar 20 sen/pon. Freeport pun harus memberikan 'subsidi' kepada smelter miliknya agar bisa berjalan dengan sehat. Karena itulah bisnis smelter tembaga ini tidak menguntungkan alias bisnis rugi.

Tak hanya itu, smelter tembaga saat ini hasilnya masih banyak diekspor ke luar negeri. Karena penyerapan katoda tembaga di dalam negeri tidak maksimal, sebab industri elektronik tidak berkembang pesat di dalam negeri. Bila katoda tembaga masih harus diekspor, maka ada lagi biaya pengiriman yang harus ditanggung. Jadi margin bisnis smelter bisa makin tipis.

Menurut Tony, konsentrat tembaga yang dihasilkan Freeport saat ini bukanlah barang mentah. Tapi nilai tambahnya sudah 95%. Konsentrat inilah yang diekspor oleh Freeport selama ini. Jadi ujar Tony, smelter tembaga tidak perlu dibangun di Indonesia. Berbeda dengan nikel, yang memang memerlukan smelter di dalam negeri, karena nilai tambah yang dihasilkan smelter nikel lebih besar.

PT Smelting saat ini mengekspor 60% katoda tembaga yang dihasilkan, dan hanya 40% yang diserap ke dalam negeri.

Ditambah, smelter bisa dibilang sebagai proyek padat modal namun tidak padat karya. Untuk investasi senilai US$ 3 miliar di lahan ratusan hektar, tenaga kerja yang dibutuhkan untuk mengoperasikannya hanya sekitar 500 orang.