Respons Perang Dagang, Larangan Ekspor Biji Nikel Bakal Dipercepat
JAKARTA - Rencana pemerintah mempercepat aturan larangan ekspor bijih nikel diklaim sebagai respons atas perang dagang antara Amerika Serikat dan China. Langkah itu diharapkan dapat menjadi momentum supaya Indonesia bisa menarik investasi ke dalam negeri.
“Dalam keadaan trade war (perang dagang) seperti sekarang, kita perlu tarik investor sebanyak mungkin,” kata Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan, di Jakarta, Selasa (13/8).
Luhut menjelaskan, selama ini Indonesia tidak mendapatkan nilai tambah atas pengelolaan sumber daya alam. Pasalnya, investor yang datang hanya menggali sumber daya alam, kemudian mengekspornya.
Ia menegaskan hal itu tidak bisa lagi terjadi. Menurutnya, Indonesia harus mendapatkan nilai tambah atas pengelolaan sumber daya alam.
“Bijih nikel ini US$ 36, kemudian ferro nikel sampai jadi metal itu bisa 100 kali lipat (nilainya). Ini akan jadi bahan stainless steel dan 2021 kita akan jadi produsen stainless steel terbesar. Dampaknya terhadap current account deficit kita akan sangat luar biasa,” tuturnya.
Meski demikian, Luhut masih enggan menjelaskan secara rinci mengenai dimajukannya larangan ekspor bijih nikel yang seharusnya baru akan mulai dilakukan pada 2022.
“Nanti kita lihat saja keputusan Presiden dalam beberapa waktu ke depan,” katanya.
Kementerian ESDM akan melarang sepenuhnya ekspor bijih mineral mulai 2022. Hal itu dilakukan untuk mendorong hilirisasi mineral dalam negeri.
Larangan ekspor mineral mentah juga telah diamanatkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Di mana dalam Pasal 103 ayat (1) UU Minerba, pengolahan dan pemurnian hasil tambang wajib dilakukan di dalam negeri. Namun, ekspor ore atau bijih masih dibolehkan hingga 2021.
Indonesia memiliki cadangan nikel mencapai 3,2 miliar ton. Angka tersebut setara dengan 5% dari cadangan nikel seluruh dunia.
Selama ini, nikel diolah oleh dua perusahaan di Indonesia yaitu PT Aneka Tambang yang mengolah nikel menjadi fero nikel dan PT Inco yang menghasilkan olahan awal biji nikel menjadi bahan baku untuk pengolahan nikel selanjutnya. Produk-produk olahan awal nikel itu kemudian 70% diekspor.
Padahal, selama ini Indonesia masih mengimpor seperti dari Jepang dan Korea baja-baja khusus yang pengolahannya menggunakan nikel misalnya bahan-bahan untuk kepentingan industri otomotif.
Kemenperin turut memperkirakan kebutuhan stainless steel pada tahun 2025 akan mencapai 400 ribu ton. Untuk diketahui, stainless steel diproduksi menggunakan nikel. Kemenperin mencatat, guna memenuhi kebutuhan produk stainless steel dari tahun 2013-2025, Indonesia perlu mengoptimalkan bahan baku dari dalam negeri berupa bijih nikel sebesar 80 juta ton.
Sementaraproduksi nikel pada tahun 2017 menurut catatan ESDM baru sekitar 78 ribu ton. Melihat dari jumlah produksinya, World Mining Data 2018 memang mencatat adanya penurunan jumlah produksi pada sejumlah bahan tambang mineral logam Indonesia. Mulai dari besi, nikel, alumunium, bauksit, hingga timah produksinya menurun pada tahun 2015.
Paling ketara penurunan produksi terjadi pada bauksit. Produksi komoditas ini terkoreksi hingga 81,42% dari total produksi tahun sebelumnya yang mencapai 2,54 juta ton.
Penurunan produksi yang cukup besar di tahun yang sama juga terjadi pada jenis nikel, yaitu sebesar 39,72% dari tahun sebelumnya menjadi 129,60 ton. Kemudian diikuti produksi besi yang menurun hingga 35,47% atau menjadi 2,11 juta ton.
Sejak awal tahun ini PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) sedang membangun pabrik smelter nikel dengan kapasitas produksi NPI sebanyak 1,2 juta ton per tahun. Lokasinya Industri pengolahan dan pemurnian (smelter) berbasis nikel ada di Konawe, Sulawesi Tenggara. Ada pula pabrik untuk memproduksi stainless steel berkapasitas 3 juta ton per tahun. Total nilai investasi ini diperkirakan mencapai US$2 miliar.
Sebelum industri smelter nikel di Konawe diresmikan, industri lain berbasis pengolahan nikel juga telah berjalan Morowali, Sulawesi Tengah. Kawasan industri di Morowali bahkan tercatat telah ditempati 10 tenant dan berhasil melakukan hilirisasi terhadap nickel ore menjadi stainless steel. Investasi melalui kawasan industri Morowali 2018 mengalami peningkatan dengan total investasi mencapai US$5 miliar. Tumbuh dari US$3,4 miliar pada 2017.
Total kapasitas industri di kedua provinsi tersebut melampaui 6 juta ton per tahun. Rencananya pabrik smelter nikel di Konawe akan mampu memproduksi stainless steel sebanyak 3 juta ton per tahun. Sementara itu, pabrik smelter nikel di Morowali sudah menghasilkan 3,5 juta ton stainless steel per tahun. (Bernadette Aderi)