Ribut Harga Nikel, Penambang-Smelter Kok Ngotot-ngototan?
Jakarta, CNBC Indonesia - Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi secara tegas meminta agar semua pelaku usaha baik penambang nikel maupun pengolahan dan pemurnian atau smelter patuh pada Harga Patokan Mineral (HPM).
Aturan HPM ini tertuang di dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 11 tahun 2020 tentang Tata Cara Penetapan Harga Patokan Penjualan Mineral Logam dan Batubara.
Akan tetapi soal harga patokan ini antara penambang dan smelter pun memiliki pandangan yang berbeda.
Wakil ketua Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian (AP3I) Jonatan Handojo menyebutkan bahwa pihaknya, para pengelola smelter, membeli nikel ore atau bijih nikel dengan harga riil, di mana harga nikel tergantung harga yang ada di bursa berjangka, London Metal Exchange (LME). Baca: Jajaki Investor Strategis, Saham Bank Harda Liar Lagi!
Masalahnya saat ini adalah ketika harga naik dan dinaikkan, harga itu diterima oleh penambang, sementara jika harga turun tidak diterima oleh penambang.
"Jadi kalau LME naik ya harus naik kalau turun ya harus turun. Nah itu yang menjadi persoalan sekarang kalau naik mau, tapi kalau turun nggak mau nah ini yang mau saya tanya kenapa," ungkapnya saat wawancara bersama CNBC Indonesia, Rabu, (05/08/2020).
Ia menegaskan dari pihak AP3I tidak hanya menyerap nikel ore dengan kadar tinggi saja, namun juga menyerap kadar 1,4% dan 1,5%.
Dia mengatakan, AP3I yang beranggotakan 37 smelter ini tidak seperti yang dituduhkan selama ini, di mana dituduh menekan harga sampai di bawah US$ 20 per ton.
"Tidak semua mempunyai karakteristik seperti yang dituduhkan ke kami AP3I, itu tidak mewakili AP3I jadi kalau ada yang menekan-nekan sampai di bawah US$ 20, sorry itu bukan anggota kami, nah ini yang harus diperhatikan," tegasnya.
Sementara menurut Sekjen Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey mengatakan sejak smelter berdiri pada tahun 2017 sampai dengan hari ini, harga yang dipatok bukan harga internasional.
Para smelter ia sebut hanya mau menerima nikel dengan kadar 1,8%, kondisi saat ini dengan harga internasional harga free on board (FOB) adalah US$ 60 dolar.
"Grafik untuk penambang lokal suplai ke smelter lokal datar, hanya berkisar US$ 18, 20, 21 dan ini yang terjadi tidak pernah kita terima harga kontrak dengan harga internasional. Kalau bisa dengan harga internasional aduh kami berterima masih luar biasa karena perbedaan harga internasional dengan harga lokal perbedaan jauh sekali," ucapnya. Baca: Nasib Batu Bara Bergantung China & India, Harga Masih Loyo!
Lebih lanjut ia mengatakan, sudah ditegaskan oleh Kemenko Maritim jika harus mengikuti HPM sesuai dengan Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 11 tahun 2020. "Kalau di-compare dengan FOB sekitar US$ 20 - 21 di mana bagian internasionalnya."
Meidy menyebut penyusunan Permen HPM ini merupakan kesepakatan bersama dari Kementerian ESDM, Kemenko Maritim, dan dihadirkan juga penambang, serta pelaku smelter sehingga rumusan harga yang telah disepakati adalah kesepakatan bersama.
"Jadi kalau misal smelter tidak terima, saya rasa mungkin pihak AP3I bisa bersurat resmi ke Kementerian ESDM yang mengeluarkan Permen 11 tahun 2020 terakit HPM," jelasnya.
Ia menyebut selama ini tidak ada pembeli bijih nikel yang berkontrak dengan kadar di bawah 1,8%, semuanya di kadar 1,8% dengan rata-rata FOB sekitar US$ 20-21.
"Bagaimana mungkin menjual dengan FOB US$ 20 dolar sedangkan biaya produksi kami sampai US$ 21."
Pemerintah membentuk satuan tugas (satgas) untuk mengawasi Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 11 tahun 2020, di mana Permen ini mengatur soal tata niaga bijih nikel di dalam negeri. Dengan Permen ini maka jual beli bijih nikel harus mengacu pada HPM.
Satgsa ini dibentuk berkolaborasi antara Kementerian ESDM, Kementerian Perindustrian dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM Yunus Saefulhak mengatakan pihaknya sudah minta anggota dari BKPM. Saat ini masih menunggu dari pihak Kemenperin.
"Satu lagi kita menunggu dari Kemenperin, belum menyampaikan kepada kita," kata Yunus dalam konferensi pers yang digelar virtual, Senin, (20/07/2020).
Satgas ini diperkirakan akan mulai bekerja pada bulan depan, sehingga jual beli bijih nikel bisa mengacu pada HPM. "Iya, (bulan depan) sudah bisa berjalan dan tegas Mungkin baru bulan depan akan keluar sanksi-sanksi tersebut," ungkap Yunus.
Sanksi juga akan diberikan kepada pihak-pihak yang melakukan pelanggaran sesuai dengan perizinan yang dikeluarkan. Ia menyebut ada smelter yang izinnya dikeluarkan dalam bentuk Izin Usaha Industri (IUI), sehingga jika yang melakukan pelanggaran adalah bentuk izinnya IUI maka yang memberikan sanksi adalah Kemenperin.
"Yang punya kewenangan memberikan peringatan dan sanksi sesungguhnya institusi yang memberikan izinnya," jelasnya.
Yunus menyebut dengan adanya HPM maka antara penambang dan pembeli dari pihak smelter akan sama-sama diuntungkan. Menurutnya, harga bijih nikel yang mengacu ke HPM harganya akan di atas harga pokok produksi (HPP). Margin profit yang didapatkan oleh penambang sebesar 34% dan smelter sebesar 33%.