Tsinghan melalui perusahaan patungannya dengan Bintang Delapan Group, PT Sulawesi Mining Investment (SMI), memiliki pabrik feronikel di Morowali berkapasitas 900 ribu ton per tahun.
SMI tengah membangun pabrik feronikel tahap III berkapasitas 300 ribu ton per tahun, sehingga total kapasitas produksi mencapai 1,2 juta ton per tahun. Untuk membuat SS, feronikel dicampur dengan ferokrom dan besi.
Virtue Dragon, seperti dilansir Nikkei, juga berencana membangun pabrik SS dan meningkatkan kapasitas produksi feronikel di Indonesia dengan investasi US$ 5 miliar. Pemain nikel lokal, PT Indoferro, turut masuk proyek SS dengan estimasi investasi US$ 950 juta. Kapasitas produksi pabrik itu mencapai 2 juta ton per tahun.
Besarnya investasi yang telah dikucurkan pemain nikel Tiongkok dan lokal, kata Jonatan, membuat mereka menolak keras rencana relaksasi ekspor mineral mentah. Sebab, kebijakan itu dipastikan memicu kebangkrutan industri smelter.
Dia mengakui, mayoritas pemain nikel Tiongkok mengekspor produknya kembali ke Tiongkok. Namun, ini bukan masalah, karena mereka mampu memberikan nilai tambah ke Indonesia. Selain itu, setoran pajak dan royalti dari produk NPI cukup besar.
Dia memastikan, tidak terjadi perebutan bahan baku antara industri nikel Tiongkok dan lokal. Alasannya, mayoritas smelter Tiongkok menggunakan teknologi tanur listrik (arc furnace) yang menyerap bijih nikel tipe saprolit dengan kadar nikel di atas 2%.
Adapun smelter lokal kebanyakan menggunakan teknologi tanur tinggi (blast furnace) yang mengolah bijih nikel tipe limonit dengan kadar nikel di bawah 2%. (bersambung)