Jakarta - Perdagangan saham PT Central Omega Resources Tbk (DKFT) masuk dalam pengawasan PT Bursa Efek Indonesia (BEI) lantaran terjadi peningkatan harga saham di luar kebiasaaan atau unusual market activity (UMA). Informasi tersebut disampaikan BEI dalam siaran persnya di Jakarta, kemarin.
Namun, pengumuman tersebut tidak serta merta menunjukkan adanya pelanggaran terhadap perundangundangan di bidang pasar modal. Berdasarkan data Bloomberg, DKFT melemah 1,92% ke level Rp204 akhir sesi pertama Selasa (24/11). Pergerakan harga saham tercatat naik 80,53% dalam 1 bulan terakhir. BEI mengharapkan para investor agar pemperhatikan jawaban perusahaan tercatat atas permintaan konfirmasi. Selain itu, investor diharapkan mencermati kinerja perusahaan tercatat dan keterbukaan informasi.
Selain itu, investor juga diharapkan mengkaji kembali rencana corporate action perusahaan tercatat apabila rencana tersebut belum mendapatkan persetujuan rapat umum pemegang saham. Selanjutnya, mempertimbangkan berbagai kemungkinan yang dapat timbul di kemudian hari sebelum melakukan pengambilan keputusan investasi.
Hingga akhir tahun ini, PT Central Omega Resources Tbk memproyeksikan laba bersih mencapai Rp 15 miliar di akhir tahun 2020, meski di paruh pertama kemarin masih mencatatkan rugi bersih sebesar Rp 85,13 miliar. Direktur DKFT, Feni Silviani Budiman seperti dikutip kontan mengungkapkan, pihaknya optimistis dapat meraih kinerja positif di akhir tahun. Pasalnya dukungan pasar dinilai berangsur membaik. "Kami juga tetap melaksanakan strategi dalam memaksimalkan kapasitas produksi smelter dan efisiensi biaya produksi FeNi," ujarnya.
Dirinya menambahkan, targetkan raihan laba bersih bakal ditopang lewat penjualan FeNi sebanyak 99.463 ton dan bijih nikel untuk pasar domestik sebanyak 148.172 ton dengan total nilai mencapai Rp 1,4 triliun. Adapun, realisasi penjualan sejauh ini tercatat feronikel (FeNi) sebanyak 39.463 ton dan bijih nikel sebanyak 22.172 ton. Demi mencapai target tersebut, DKFT pada tahun ini mengalokasikan belanja modal sebesar Rp 60 miliar. Alokasi ini jauh lebih besar dari serapan capex pada tahun 2019 silam yang mencapai 73% atau sebesar Rp 15 miliar.