Saham Sudah Naik 79,5%, TINS Tetap Jawara Produsen Timah
Jakarta, CNBC Indonesia - Kalangan pelaku pasar memprediksi dominasi PT Timah Tbk (TINS) dalam memproduksi timah tak akan tersaingi perusahaan tambang mineral yang sama, apalagi tambang timah ilegal.
Ariyanto Kurniawan, analis PT Mandiri Sekuritas, menilai TINS masih akan menguasai ekspor timah, meskipun Bursa Komoditas dan Derivatif Indonesia (BKDI/ICDX) membuka kembali pintu sertifikasi tambang dan smelter dari PT Surveyor Indonesia.
Sebelumnya, sertifikasi tambang dan smelter oleh BUMN Surveyor Indonesia sempat dihentikan ICDX pada Oktober 2018 karena Surveyor sedang dibidik Kepolisian dengan dugaan kesalahan survei terhadap tambang dan smelter yang dianggap perizinan-nya tumpang tindih atau bahkan ilegal.
Namun, Ariyanto mengatakan baru-baru ini sertifikasi tambang dari Surveyor sudah diperkenankan lagi oleh ICDX.
"Perhatian (investor) terhadap Surveyor Indonesia tidak beralasan, karena sampai saat ini Kementerian ESDM baru menyetujui rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) tiga perusahaan," ujarnya dalam riset hari ini (4/3/19).
Tiga perusahaan itu terdiri dari TINS dan dua perusahaan lain. Penyampaian dan persetujuan RKAB tahunan adalah syarat dari Kementerian ESDM dengan periode tidak kurang dari 45 hari sebelum aktivitas penambangan dimulai.
Ketentuan itu sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM No.11/2018 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu bara.
Dari total 37 perusahaan swasta yang terdaftar di ICDX, baru tiga yang terdaftar dan disetujui Kementerian ESDM.
Kondisi tersebut dinilai Ariyanto akan menguntungkan bagi TINS dan akan menjadikan emiten BUMN tersebut akan mendominasi ekspor timah tahun ini karena perseroan menguasai lebih dari 90% konsesi timah di Pulau Bangka.
Tahun ini, prediksi Ariyanto, kinerja pendapatan dan laba bersih perseroan diprediksi dapat melonjak 43% dan 141% menjadi Rp 14,2 triliun dan Rp 1,25 triliun.
Dia menilai penindakan tegas terhadap penambang timah ilegal dapat mengubah keadaan TINS jika penegakan hukum diterapkan konsisten, karena dapat menghasilkan peningkatan produksi dan penurunan beban produksi.
Apalagi, kondisi ini terjadi ketika harga saham TINS sudah turun sekitar 13% yang justru dapat menjadi pintu masuk membeli saham perseroan menjelang kinerja laba perseroan yang baik tahun ini.
Di pasar, saham perusahaan yang dipimpin M Riza Pahlevi Tabrani tersebut masih terkoreksi 1,09% menjadi Rp 1.360 per saham dan membentuk kapitalisasi pasarnya Rp 10,12 triliun.
Dalam riset terpisah, Isfhan Helmy, Head of Research PT OCBC Sekuritas Indonesia, menilai angka target perseroan terhadap produksi timah murni 38.000 ton tahun ini cukup konservatif, dengan didasari produksi perseroan 5.200 ton pada Januari.
"Ada kemungkinan TINS akan menaikkan target dalam revisi RKAB yang akan disampaikan pada Juli 2019 dan dapat membukukan produksi 60.000 ton sepanjang 2019."
Dia pun menetapkan target harga Rp 1.800 per saham dan rekomendasi beli untuk TINS dengan beberapa risiko.
Risiko tersebut adalah turunnya harga timah karena produksi yang lebih tinggi daripada prediksi karena penambang swasta Indonesia dan Myanmar, serta turunnya margin karena beban keuangan yang lebih tinggi daripada prediksi.
Analis PT Ciptadana Asia Sekuritas Thomas Radityo menilai rerata harga jual (average selling price/ASP) TINS dapat naik pada periode 2019-2020 sebesar 5,3%-7,6% menjadi US$ 23.625-US$ 24.150 per metrik ton.
Selain itu, dia juga menaikkan asumsi harga jual jangka panjang perseroan menjadi US$ 22.000 per metrik ton dari sebelumnya US$ 20.000 per metrik ton.
Di tengah optimisme tersebut, Thomas juga menaikkan prediksi produksi TINS 9%-4,1% oada 2019-2020 menjadi 36.172-37.077 metrik ton.