Said Abdullah Minta Kartel Perdagangan Nikel Segera Diamputasi
Jakarta, Beritasatu.com - Anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Said Abdullah meminta pemerintah dan aparat penegak hukum segera mengamputasi praktik kartel dalam perdagangan nikel di Indonesia. Sebab, hal itu selain merusak iklim usaha, juga menurunkan daya saing di sektor pertambangan dalam negeri.
“Saya kira, perlu ada tata niaga nikel untuk melindungi penambang nikel dari praktik kartel perdagangan nikel domestik. Kartel ini sebuah kejahatan koorporasi yang merugikan Negara dan ada unsur tindak pidana korupsinya,” jelas Said Abdullah dalam pernyataan pers terulis yang diterima Beritasatu.com di Jakarta, Senin (18/11/2019) sore.
Pembiaran praktik kartel ini, kata dia, akan membuat sektor pertambangan Indonesia semakin tertinggal jauh dari negara lain. “Kartel ini bukan hanya merusak harga, tetapi juga menurunkan kualitas nikel para penambang kecil dengan cara tidak mengalui hasil laboratorium surveyor yang ditunjuk Kementerian ESDM dan melakukan uji lab sendiri,” terangnya.
Salah satu cara memangkas mata rantai kartel itu, jelas Ketua DPP PDI-P bidang perekonomian ini, adalah dengan cara mengevaluasi secara menyeluruh terhadap aktivitas pertambangan di Indonesia, termasuk mencabut Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019 karena menimbulkan ketidakpastian berusaha.
“Intinya kekayaan alam Indonesia yang sangat potensial ini harus dipergunakan sebesar-besarnya untuk mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat,” jelasnya.
Menurut dia, bisnis perdagangan nikel saat ini tidak sehat. Indikasinya, banyak yang membeli harga nikel di bawah harga patokan mineral (HPM). Hal ini jelas melangggaran aturan Dirjen Minerba Kementerian ESDM.
Untuk itu, pemerintah harus memberikan sanksi tegas kepada perusahaan-perusahaan nikel yang membeli harga nikel di bawah harga patokan.
“Pemerintah juga harus turun langsung ke lapangan. Jangan hanya melihat masalah tambang nikel di daerah dari menara dan gedung bertingkat di Jakarta. Melihat langsung persoalan di lapangan sangat penting agar lebih sempurna menyusun regulasi di sektor pertambangan," ujarnya.
Lebih jauh ia menjelaskan, kebijakan pelarangan ekspor nikel merupakan langkah visioner untuk membangun industri pertambangan nasional agar meninggalkan pola pembangunan ekstraktif (hanya gali) menuju pembangunan berbasis nilai tambah dengan cara membangun pabrik pembangun smelter.
Hanya saja, mayoritas pabrik nikel yang sudah beroperasi, hampir 80% adalah korporasi nikel dari Tiongkok yang memiliki kemampuan finansial cukup untuk membangun pabrik smelter nikel. Sementara perusahaan domestik yang baru membangun pabrik nikel masih sedikit lantaran ketidaksanggupan finansial.
“Kebanyakan pabrik-pabrik nikel ini berasal Tiongkok. Jumlah mereka sangat sedikit tetapi mereka memiliki dana besar untuk bangun smelter. Mereka tidak memiliki lahan konsensi nikel yang luas dan bahkan ada perusahaan yang tidak memiliki konsensi (hulu),” terangnya.
Ia melanjutkan, "Mereka hanya mengharapkan biji nikel dari konsensi tambang kecil-kecil milik pengusaha kecil Indonesia yang tidak memiliki cukup dana untuk membangun smelter. Lantaran terdesak kebijakan pelarangan ekspor, konsensi kecil-kecil itu harus menjual biji nikel ke pabrik-pabrik smelter. Sementara pabrik smelter melakukan kartel untuk menurunkan harga pasar. Akibatnya, mereka mematok harga sesuka mereka. Padahal, ada HPM yang sudah ditetapkan Dirjen Minerba dan mengikuti harga pasar London Stock Metal."