JAKARTA, MEDIAJAKARTA.COM – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, sampai Februari 2018, sebanyak 52 smelter telah terbangun dan 19 smelter lainnya yang tengah dibangun dengan perkembangan di atas 5%.
Total 71 smelter tersebut merupakan gabungan dari smelter yang menggunakan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi Khusus (IUP OPK) dan Izin Usaha Industri (IUI).
Smelter timah mendominasi dengan 29 smelter eksisting. Sejauh ini belum ada rencana tambahan untuk timah.
Nikel menjadi smelter yang paling berkembang berikutnya dengan jumlah yang telah terbangun mencapai 14 unit. Selain itu, akan ada tambahan 12 smelter lagi yang saat ini tengah digarap. Komoditas besi telah memiliki empat smelter eksisting. Rencananya ada tambahan tiga smelter lagi.
Bauksit dan mangan masing-masing telah memiliki dua smelter. Belum ada tambahan smelter yang progresnya sudah di atas 5%. Tembaga sudah memiliki satu smelter. Rencananya akan ada tambahan satu smelter lagi.
Sementara untuk timbal dan seng, belum ada smelter yang terbangun. Saat ini, ada tiga smelter yang sedang dalam tahap pembangunan.
“Data ini yang selalu kami pantau dan laporkan ke kantor staf Presiden per dua bulan. Karena kami mengurus hulunya juga, maka data IUI juga kami masukkan,” tutur Kepala Seksi Pengawasan Kelayakan Usaha Mineral Kementerian ESDM I Made Edy Suryana, Rabu (7/2/2018). Baca juga
Sedangkan untuk rekomendasi Ekspor, KESDM kembali menerbitkan dua rekomendasi ekspor baru untuk bijih nikel kadar rendah pada awal tahun ini.
Rekomendasi tersebut diberikan kepada PT Toshida Indonesia dengan kuota sebanyak 1,95 juta ton dan PT Genba Multi Mineral dengan kuota sebanyak 1,95 juta ton.
Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral Bambang Susigit mengatakan secara umum tidak akan ada banyak perusahaan baru yang mengajukan rekomendasi ekspor mineral mentah pada tahun ini. Yang ada hanya perpanjangan rekomendasi yang telah diperoleh pada tahun lalu.
“Untuk rekomendasi, sudah tidak akan ada lagi, paling tahun ini yang ada hanya perpanjangan izin ekspor untuk perusahaan-perusahaan yang sebelumnya telah diberikan rekomendasi,” ujarnya.
Seperti diketahui, relaksasi ekspor mineral mentah tersebut diatur dalam Permen ESDM No. 5/2017 dan Permen ESDM No. 6/2017 yang diterbitkan pada 11 Januari 2017. Nikel dengan kadar kurang dari 1,7% dan bauksit yang telah dilakukan pencucian (washed bauxite) dengan kadar Al2O3 lebih dari atau sama dengan 42% digolongkan dalam mineral logam dengan kriteria khusus.
Pemegang IUP Operasi Produksi nikel wajib memanfaatkan nikel kadar rendah tersebut minimal 30% dari total kapasitas input smelter yang dimiliki. Setelah terpenuhi, pemegang IUP bisa melakukan ekspor bijih nikel kadar rendah tersebut dalam jumlah tertentu selama lima tahun.
Pemegang IUP Operasi Produksi bauksit yang telah melakukan pencucian dan telah atau sedang membangun smelter pun bisa mengekspor komoditasnya maksimal lima tahun sejak peraturan ini terbit. Baik nikel maupun bauksit, akan dikenakan bea keluar apabila diekspor sebesar 10%. (MD)