a a a a a
logo
Short Landscape Advertisement Short ~blog/2022/2/1/pak prihadi
Bersama Kita Membangun Kemajuan Industri Smelter Nasional
News

Sederet Kritik buat Omnibus Law Cipta Kerja

Jakarta - Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja yang disahkan menjadi Undang-undang (UU) melalui Rapat Paripurna hari ini mendapat kritik. Salah satunya datang dari Direktur Eksekutif Center of Development Studies dan juga tenaga ahli DPR RI Adhi Azfar.
Dia menjelaskan omnibus law pro terhadap asing yang dinilainya sudah menguasai kekayaan alam Indonesia dalam waktu lama.

"Kapitalis asing sudah lama hadir menguasai kekayaan alam Indonesia. Dengan disahkannya RUU Omnibus Law Cipta Kerja, mereka kini sedang mempersiapkan 'selametan' pesta besar. Masuk ke tanah air makin merajalela," kata dia dalam pernyataan tertulis yang diterima detikcom, Senin (5/10/2020).

1. Kritik soal kawasan ekonomi Khusus
Pasal yang sangat krusial yang membuka pintu masuk kepentingan asing, dijelaskannya ada di pasal 38 mengenai perubahan UU Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), dimana RUU Cipta Kerja ini memberikan kemudahan bagi orang asing meski bukan pelaku usaha di KEK.

Bukan sekedar kemudahan, dia menguraikan bahwa RUU Cipta Kerja ini turut memberikan fasilitas imigrasi dan keamanan bagi pendatang asing masuk ke Indonesia melalui KEK.

"Padahal di UU eksisting (UU No.39 tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus), fasilitas hanya diberikan kepada pelaku usaha yang memiliki izin usaha di KEK, baik di bidang perindustrian maupun perdagangan," paparnya.

Tanpa adanya klausul itu saja, lanjut dia, saat ini sudah berdiri pabrik smelter (pemurnian) asal China. Pabrik peleburan bijih nikel di Pulau Sulawesi itu diberikan insentif tax holiday (pembebasan pajak) selama 25 tahun.

Dia menyebut pekerja yang didatangkan dari luar negeri juga tidak menggunakan visa pekerja, melainkan berstatus turis dan ratusan ribu hektare area pertambangan dikuasai mereka.

"Lalu Negara dapat apa? Payroll Taxes? Ternyata tidak. Warga asing yang bekerja di perusahaan itu 'digaji' dalam bentuk biaya hidup, akomodasi dan uang saku. Sedangkan gaji aslinya dikirim ke keluarganya di negara asalnya," ungkapnya.

Menurutnya Corporate Income Taxes pun belum tentu ada karena fasilitas kemudahan investasi dan pembebasan pajak atas impor serta fasilitas fiskal lainnya mungkin lebih besar dari Corporate Tax yang diterima negara.

Masuknya impor barang juga tak ada lagi pembatasan. Kata dia, itu dapat dilihat di pasal 27 dan 32 perubahan UU tentang KEK, dimana RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini bahkan memberikan fasilitas impor barang konsumsi ke KEK, baik fasilitas pajak dan kepabeanan meski kegiatan usaha utamanya bukan produksi dan pengolahan.

"Ketentuan ini mencederai rasa keadilan bagi usaha rakyat kecil disekitarnya, yang akan terdampak dan tergusur dari tanahnya sendiri, terjepit diantara hadirnya kapitalis asing. Pemilik modal besar hadir merampas hak rakyat Indonesia untuk menikmati kekayaan bangsanya sendiri," dia menegaskan.


2. Kritik soal penanaman modal
Yang juga dia soroti adalah UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. RUU Omnibus Law menghapus ketentuan tentang produksi senjata dan peralatan perang yang tertutup bagi penanaman modal asing. Artinya, terbuka peluang penanaman modal asing pada industri pertahanan keamanan nasional.

Masih di pasal 12 tersebut, RUU Ciptaker disebutnya telah menghapus ketentuan tentang bidang usaha yang terbuka bagi penanaman modal dengan persyaratan. Ketentuan tersebut selama ini melindungi UMKM dari penguasaan usaha bermodal besar, karena pemilik modal asing dibatasi di usaha tanaman tebu, budidaya ikan, pengrajin kayu kecil dan usaha kecil lainnya.

Kini persyaratan itu dihapus, sehingga menurutnya hilang sudah perlindungan untuk UMKM akibat hilangnya bidang usaha yang khusus dicadangkan bagi UMKM.

Ketidakadilan dalam penerapan insentif juga diungkapnya tercermin dalam RUU Ciptaker yang mengubah UU Penanaman Modal, Pasal 18 ayat 13 huruf k. RUU Ciptaker mensejajarkan antara UMKM, Industri yang menjaga kelestarian lingkungan, dan Industri yang berada di daerah terpencil, dengan bisnis pariwisata diskotik, kelab malam dan panti pijat.

Lewat perubahan dalam RUU Cipta Kerja ini, dia menjelaskan ada pemberian insentif fiskal dan perpajakan bagi investor yang menanamkan modal untuk industri diskotek, kelab malam dan panti pijat.

"Ditambahkannya kriteria 'pengembangan usaha pariwisata' sebagai kriteria usaha yang mendapat fasilitas dari pemerintah, berpotensi masuknya usaha diskotik, karaoke dan kelab malam sebagai usaha yang mendapat fasilitas dalam penanaman modal, sebagaimana kategori pariwisata dalam Permen Pariwisata No.10/2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi secara Elektronik," ujarnya.

3. Kritik soal lembaga pengelola investasi
Dia melanjutkan, Bab yang paling krusial dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja adalah Bab 10 tentang Investasi Pemerintah Pusat yang melahirkan lembaga baru bernama Lembaga Pengelola Investasi (LPI). Menurutnya ada potensi hilangnya hak pengelolaan negara atas aset-aset dan kekayaan negara dengan berubahnya frasa 'aset negara' menjadi 'aset lembaga' dan frasa 'kerugian negara' menjadi "kerugian lembaga".

"Sehingga ketika aset negara (termasuk didalamnya aset BUMN dan kekayaan alam bangsa) dipindahtangankan oleh Lembaga Pengelola Investasi (LPI), aset tersebut tidak lagi disebut sebagai aset negara, tetapi aset lembaga," paparnya.

Bila dalam melaksanakan tugasnya, LPI tidak dapat mengelola investasinya dengan baik ataupun mengalami kejadian luar biasa yang tidak mampu diprediksi sebelumnya, menurutnya negara dapat kehilangan aset-asetnya yang berharga.

Bila kerugian tersebut hanya disebut kerugian lembaga, maka negara telah kehilangan hak penguasaannya. Itu dia nilai berpotensi menabrak UUD 1945 Pasal 33 ayat 2 dan 3, bahwa bumi, air, dan kekayaan alam serta cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dikuasai oleh negara.

"Potensi pelanggaran terhadap konstitusi juga terlihat dari pasal yang memberikan kekebalan hukum kepada pengurus dan pegawai Lembaga Pengelola Investasi (LPI) dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya yang tidak bisa dituntut/digugat baik secara pidana maupun perdata," urainya.

Hal itu, dia anggap dapat melanggar asas persamaan dihadapan hukum atau Equality Before The Law, dan bertentangan dengan Pasal 28 D ayat (1) UUD NRI 1945 tentang asas persamaan dihadapan hukum dan Pasal 27 ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyebutkan bahwa semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

Bersambung ke halaman selanjutnya.

Masih di Bab 10 tentang Invetasi Pemerintah Pusat, dia menjelaskan terdapat potensi pelanggaran terhadap prinsip ketatanegaraan dengan hilangnya status 'Penyelenggara Negara' pada pegawai LPI yang mengelola aset dan kekayaan negara, serta tidak diauditnya LPI oleh BPK sebagai lembaga negara yang berwenang melakukan pemeriksaan keuangan terhadap lembaga yang mengelola aset Negara.

"Ini termaktub dalam Pasal 154 dan 153 yang menghilangkan status penyelenggara negara pada pegawai LPI dan menyatakan pemeriksaan keuangan LPI hanya dilakukan oleh akuntan publik yang terdaftar pada BPK," sebutnya.

Padahal, lanjut dia, mereka adalah orang yang diberi kewenangan mengelola uang negara dan menerima gaji dari negara. Untuk itu seharusnya mereka termasuk penyelenggara negara. Ketentuan ini juga telah mereduksi UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang menempatkan penyelenggara Negara sebagai subyek tindak pidana korupsi yang bisa dimintai pertanggungjawaban.

Lanjut dia, Bab 10 ini juga memuat ketentuan yang mereduksi UU BUMN dan UU Keuangan Negara, yaitu Pasal 160 dan Pasal 154 ayat 3, yang mengambil alih pengaturan tentang pengelolaan keuangan negara dengan menyebutkan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait yang mengatur pengelolaan keuangan negara/kekayaan negara/badan usaha milik negara tidak berlaku untuk LPI yang diatur berdasarkan Undang-undang ini.

"Dengan alasan proses investasi sudah dilakukan dengan itikad baik, walaupun tidak teliti dan tidak profesional, pengurus dan pegawai LPI memiliki kekebalan hukum sehingga tidak dapat dijerat meskipun terjadi kerugian negara," sebutnya.

4. Kritik soal paten
Dia juga menyayangkan perubahan yang juga terjadi di pasal 20 UU tentang Paten. RUU Cipta Kerja menghapus kewajiban pemegang paten untuk menggunakan produk dalam negeri dan melakukan transfer teknologi di Indonesia.

Hilangnya ketentuan itu menurutnya justru berpotensi membuat perusahaan milik anak bangsa kehilangan pasar dan customer. Secara otomatis itu akan menghilangkan lapangan kerja bagi masyarakat. Padahal tujuan dibuatnya UU Omnibus Law Cipta Kerja adalah menciptakan lapangan kerja.

"Ini belum cerita tentang perubahan pasal-pasal tentang Ketenagakerjaan di RUU Cipta Kerja yang merugikan buruh Indonesia. Padahal dari namanya saja, RUU ini untuk menciptakan lapangan kerja, tapi lapangan kerja untuk siapa sebenarnya???" tutupnya.