KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Prospek bisnis penambangan emas yang masih berkilau membuat sejumlah emiten merambah ke sektor tambang emas. Salah satunya PT United Tractors Tbk (UNTR), anggota indeks Kompas100 ini mengakuisisi 95% saham PT Agincourt Resources, yang memiliki tambang emas Martabe di Sumatra Utara.
Nilai transaksi dari akuisisi ini mencapai US$ 917,9 juta, yang dihitung berdasarkan nilai perusahaan sebesar US$ 1,2 miliar. Selain memiliki prospek yang cerah, Sekretaris United Tractors, Sara K. Loebis mengatakan tujuan mereka melakukan ekspansi ke tambang emas untuk menyeimbangkan bisnis UNTR selain bidang non batubara.
Sebelumnya ia juga menyampaikan diversifikasi tambang emas ini sebagai salah satu strategi di tengah harga batubara yang fluktuatif. Dengan begitu mereka tak hanya memperoleh pendapatan dari sektor batubara tapi juga dari penambangan emas.
Melalui anak usahanya PT Danusa Tambang Nusantara UNTR membidik produksi emas sebanyak 350.000 oz pada tahun 2019. Sampai kuartal 1 2019 mereka sudah berhasil memproduksi 97,000 oz. Sejauh ini, Sara mengaku belum ada rencana untuk menambah atau mengakuisisi tambang emas baru.
Pada tahun ini UNTR juga menggelontorkan dana sekitar US$ 50 juta untuk kegiatan operasional tambang emas ini. Dana itu diperoleh dari internal PT Agincourt Resources dan akan terkonsolidasi dalam total capex UNTR.
Selain memaksimalkan produksi sesuai dengan kapasitas yang ada, tahun 2019 PT Agincourt Resources secara berkelanjutan bakal melakukan eksplorasi guna menemukan tambahan cadangan emas pada wilayah yang belum dilakukan eksplorasi, serta pada wilayah operasi untuk menentukan target produksi.
Berdasarkan data per Desember 2017, tambang emas Martabe memiliki cadangan 4,7 juta ons. “Untuk informasi cadangan terbaru saya cek dulu, target produksi tahun ini 350.000 oz,” ungkapnya pada Kontan.co.id, Selasa (23/4).
Sama halnya UNTR, ternyata PT Renuka Coalindo Tbk juga berminat untuk menggarap bisnis tambang emas. Emiten berkode saham SQMI ini tengah menadah pendapatan dari produksi emas mulai tahun ini.
SQMI meninggalkan bisnis batubara dan fokus untuk mempersiapkan produksi emas yang rencananya akan mulai pada pertengahan tahun ini. Mereka lebih memilih beralih ke pertambangan mineral dengan mempertimbangkan sejumlah alasan. Salah satunya lantaran komoditas ini dinilai lebih stabil.
Direktur Independen PT Renuka Coalindo Tbk Irwan Darmawan mengatakan lokasi tambang yang tengah digarap memiliki potensi yang cukup menjanjikan. Pada tahun ini meraka menargetkan produksi emas 19.000 oz. “Target pendapatan kita tahun ini sekitar US$ 22 juta hasil dari produksi 10.000 oz dengan harga US$ 1250 per oz,” katanya pada Kontan, Selasa (23/4).
Garapan tambang emas Renuka bernama Ciemas Gold Project, SQMI mempunyai 10 lokasi yang bisa menambah sumber daya yang ada saat ini, dari 10 lokasi sekarang baru enam lokasi yang dilakukan eksplorasi. Ke depannya, mereka juga akan menambah sumber daya dengan terus melakukan eksplorasi lanjutan.
Apabila mengacu data dari SQMI, sampai Oktober 2018, cadangan dari wilayah tambang Cikadu, Sekolah, Cibatu, dan Pasir Minggu yang ada di Sukabumi tersebut sebesar 810.385 troin ons. Saat ini mereka hampir merampungkan pabrik pengolahan tahap pertama dengan kapasitas 500 ton ore per hari atau 38.482 troy oz per tahun.
Sembari merampungkan pabrik pengolahan pertama, mereka juga melanjutkan eksplorasi. SQMI juga akan melakukan ekspansi dengan membangun pabrik pengolahan tahap dua berkapasitas 1500 ore per hari yang ditargetkan rampung pada 2021.
Mereka perlu investasi sebesar US$ 66 juta hingga US$ 99 juta untuk pabrik pengolahan kedua tersebut. Sementara ini dananya akan diperoleh dari hasil operasi dan sebagian dari pinjaman.
Selain itu SQMI dan UNTR PT Indika Energy Tbk (INDY), anggota indeks Kompas100 ini, juga mulai masuk ke sektor tambang emas. INDY mendiversifikasi usaha ke sektor pertambangan lainnya di luar batubara.
Analis Jasa Utama Capital Sekuritas, Chris Apriliony mengungkapkan saat ini banyak perusahaan yang masuk ke sektor pertambangan emas.
“Hal ini karena batubara sendiri sudah mulai terlihat adanya pembatasan-pembatasan baik impor maupun ekspor, ditambah lagi isu lingkungan yang cukup tinggi sehingga batubara mulai tertekan dari sisi penggunaan, ditambah lagi batubara sempat naik cukup signifikan tahun lalu,” jelasnya, Selasa (23/4).
Menurutnya prospek bisnis sektor emas sendiri cukup cerah dimana harga emas dunia juga masih stabil di US$ 1.200/oz dan belum mengalami kenaikan yang cukup signifikan belakangan ini sehingga emas tergolong lebih stabil.
Selain itu, ia bilang, pertambangan emas masih cukup menjanjikan karena instrumen emas belakangan mulai banyak diminati, tak hanya itu, saat ini emas juga mulai masuk menjadi sarana hadiah tidak hanya investasi untuk diri sendiri.
Namun, sambungnya, perusahaan-perusahaan yang akan masuk tambang emas juga harus memikirkan terkait pembuatan smelter yang memerlukan biaya yang cukup banyak. “Investasi untuk membangun smelter tidak murah sehingga ini yang menjadi tantangan untuk pertambangan emas itu sendiri,” ujarnya.