Kabar gembira datang dari gedung Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Kamis (12/7/2018) lalu. Negosiasi panjang nan berliku yang dilakukan pemerintah Indonesia selama bertahun-tahun terhadap Freeport McMoran Inc (FCX) dan Rio Tinto akhirnya membuahkan hasil. Indonesia melalui PT Inalum sebagai induk holding BUMN melakukan penandatanganan perjanjian awal (Head of Agreement/HoA) dengan Freeport McMoran Inc, PT Freeport Indonesia (PTFI), dan Rio Tinto.
Perjanjian awal ini merupakan payung hukum yang memberikan kepastian bahwa Indonesia akan resmi mengambil alih saham PTFI hingga 51 persen. Penandatanganan ini pun sekaligus sebagai langkah strategis untuk mewujudkan kesepakatan pemerintah dengan PTFI dan Freeport McMoran Inc tanggal 27 Agustus 2017 lalu.
Menurut Menteri Keuangan, Sri Mulyani, kesepakatan pada 27 Agustus 2017 antara lain terkait landasan hukum yang mendasari bentuk Izin Usaha Pertambahan Khusus (IUPK) untuk Freeport, divestasi saham 51 persen untuk kepemilikan Indonesia, pembangunan smelter (fasilitas pengolahan dan pemurnian) di dalam negeri, penerimaan negara lebih besar dibandingkan rezim Kontrak Karya, dan perpanjangan operasi 2 kali 10 tahun. (analisadaily.com, 13 Juli 2018)
Sementara untuk peningkatan penerimaan negara sesuai pasal 169 UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba), Kemenkeu sudah memastikan pengenaan tarif dan penerimaan negara dalam bentuk IUPK, termasuk memastikan ketersediaan regulasi bagi semua investor dalam memberikan stabilitas pembayaran kewajiban penerimaan negara.
Langkah awal dan langkah maju
Sesuai dengan namanya, “perjanjian awal (Head of Agreement/HoA)”, maka sejatinya HoA ini bukanlah bermakna Indonesia telah resmi memiliki 51 persen saham Freeport. Satu hal yang pasti, FCX masih menjadi pemegang saham mayoritas dan Indonesia masih memiliki saham 9,36 persen saja. Hanya saja, HoA ini merupakan langkah awal bagi Indonesia untuk mengunci nilai pasti dari rencana kepemilikan saham hingga setara 51,38 persen.
Pihak Indonesia mengharapkan, proses pembelian dan kepemilikan saham ini akan berlangsung dalam waktu yang tidak lama. Berangkat dari langkah awal ini, maka HoA akan bergerak menjadi langkah maju dalam rangka mewujudkan kesepakatan tanggal 12 Januari 2018 dan tanggal 27 Agustus 2017.
Pokok-pokok kesepakatan pada tanggal 12 Januari 2018 berlangsung antara Pemerintah Indonesia (Pusat), Pemerintah Provinsi Papua, dan Pemerintah Kabupaten Mimika, di mana pemerintah daerah akan mendapatkan saham sebesar 10 persen dari kepemilikan saham PTFI. Sedangkan pokok-pokok kesepakatan pada tanggal 27 Agustus 2017 yang terjadi antara PTFI dan FCX menyepakati mengenai pembentukan IUPK, divestasi saham 51 persen, pembangunan smelter, penerimaan negara, dan perpanjangan operasi.
Langkah maju tak hanya ada di pihak Indonesia, tetapi juga di pihak Amerika Serikat (FCX). Bagi FCX, HoA adalah tiket menuju kepastian usaha mereka untuk bisa beroperasi di Papua sampai 2041. Presiden Direktur Freeport McMoran Richard Adkerson memperkirakan, bila proses operasi tambang berlanjut sampai 2041 dan divestasi berjalan mulus, maka manfaat ekonomi yang akan didapat bagi pihak Indonesia tidak sedikit. Manfaat langsung kepada pemerintah pusat dan daerah, serta dividen kepada Inalum dapat melebihi US$ 60 miliar.
Divestasi saham hingga 51 persen tentu saja punya konsekuensi secara ekonomi, salah satunya adalah potensi keuntungan yang bakal diraih. Tapi, potensi ini harus ditebus dengan dana yang tidak sedikit. Inalum dan FCX sepakat mengambil skema divestasi 51 persen saham melalui hak partisipasi (participating interest) perusahaan tambang asal Inggris-Australia, Rio Tinto, pada tambang Grasberg di Papua milik PTFI.
Pemerintah Indonesia melalui holding BUMN yang dipimpin PT Inalum akan melaksanakan proses ini sehingga kepemilikan saham Inalum di PTFI bertambah dari semula hanya 9,36 persen menjadi sekitar 51,38 persen. Inalum harus mengeluarkan dana sebesar US$3,85 miliar untuk membeli 40 persen hak partisipasi Rio Tinto di tambang Grasberg. Namun, skema divestasi 51 persen tak cukup hanya mengambil 40 persen hak partisipasi Rio Tinto di tambang Grasberg, Inalum pun harus membeli 100 persen saham FCX di PT Indocopper Investama yang memiliki saham sebesar 9,36 persen di PTFI. Sebanyak 81,28 persen saham PTFI dimiliki oleh FCX. Sedangkan PT Indocopper Investama Corp dan pemerintah Indonesia masing-masing punya 9,36 persen.
Pemerintah Indonesia melalui Inalum menargetkan transaksi dana sebesar US$3,85 miliar itu bakal selesai dalam kurun waktu dua bulan. Lalu dari mana duitnya? Direktur Utama Inalum, Budi Gunadi Sadikin mengatakan, ada 11 bank yang telah siap untuk ikut mendanai proses divestasi saham tersebut. Bahkan nilai pinjamannya disebut-sebut sudah mencapai US$5,2 miliar setara dengan Rp74,88 triliun (kurs Rp14.400 per dollar AS). Posisi cash yang dimiliki Inalum dan holding minyak dan gas (migas) BUMN saat ini sekitar US$1,5 miliar. Untuk rincian pembayaran. Nantinya Rio Tinto akan menerima sebesar US$3,5 miliar (sekitar Rp 55 triliun) dan FCX sebesar US$350 juta (sekitar Rp 5 triliun).
Yang harus dilakukan
PT Inalum bersama Freeport McMoran Inc, PT Freeport Indonesia (PTFI), dan Rio Tinto sudah menyepakati perjanjian pendahuluan (HoA) untuk menguasai 51 persen saham PTFI. Lalu apa yang harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia pascapenandatanganan HoA ini?
Langkah awal yang dapat dilakukan adalah menyepakati siapa pemegang kontrol di tambang pascadivestasi. Pembentukan perusahaan joint venture tentu saja menjadi salah satu solusi terbaik. Dalam joint venture perlu dipertegas bahwa meskipun PTFI ingin ikut serta menjadi operator di tambang emas, hal tersebut dapat dilakukan asal bukan sebagai operator utama. Hal ini mengingat, Inalum sudah menjadi pemegang saham mayoritas.
Perlu diingat bahwa Kontrak Karya (KK) dan Undang-undang mensyaratkan kalau Freeport dapat mengajukan perpanjangan kontrak. Artinya, pemerintah harus memastikan Freeport tetap dapat memperpanjang kontrak tambangnya di Indonesia dengan sistem Izin Usaha Pertambangan Khusus Operasi Produksi (IUPK OP) dan tentu saja setelah memenuhi persyaratan sesuai kesepakatan dalam HoA.
Perpanjangannya pun maksimal 20 tahun dan diperpanjang bukan per 20 tahun, bertahap per 10 tahun. Tujuannya, agar pemerintah dapat memastikan bahwa Freeport beroperasi sesuai dengan ketentuan yang disyaratkan dalam IUPK OP. Jika ada indikasi melanggar aturan dalam 10 tahun perpanjangan pertama, maka perpanjangan 10 tahun kedua dapat dipertimbangkan. Pemerintah Indonesia harus menjaga, bahwa sistem kontrak dengan IUPK ini jauh lebih menguntungkan dan bermanfaat bagi Indonesia khususnya, dibandingkan dengan sistem sebelumnya yakni Kontrak Karya (KK). Berdasarkan dokumen PTFI, laba PTFI diproyeksikan mencapai US$2,02 miliar, atau sekitar Rp 28,28 triliun (menggunakan kurs Rp14.000/US$). Capaian ini meningkat nyaris 60 persen dari laba bersih PTFI pada tahun 2017 lalu yang sebesar US$1,28 miliar.
Hal penting lainnya yang harus dilakukan pemerintah Indonesia adalah memastikan, bahwa perpanjangan kontrak kepada Freeport harus dilakukan dengan mempertimbangkan keberlanjutan pengelolaan lingkungan di area tambang (yang terdampak). Bukan isu baru, kalau persoalan lingkungan menjadi permasalahan cukup serius dalam perjalanan tambang Freeport. Karena itulah, peran Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menjadi sangat penting dalam hal ini.
Dengan alasan kepentingan nasional, kita semua berharap agar pelaksanaan HoA berakhir dengan mulus, yakni Pemerintah Indonesia memiliki 51 persen saham Freeport. Lewat kepemilikan ini pun kita berharap bahwa Indonesia akan mendapatkan manfaat dan keuntungan yang jauh lebih besar dibandingkan selama lima dekade (50 tahun) terakhir. Dengan demikian, kesejahteraan bangsa dan rakyat Indonesia, terutama Papua sebagai tanah tempat berdirinya perusahaan tambang Freeport semakin meningkat. ***