a a a a a
logo
Short Landscape Advertisement Short ~blog/2022/2/1/pak prihadi
Bersama Kita Membangun Kemajuan Industri Smelter Nasional
News

Setelah Inalum dan Freeport Teken HoA

Kabar gembira datang dari gedung Ke­menterian Ke­uang­an Re­pu­blik In­do­ne­sia, Kamis (12/7/2018) lalu. Nego­siasi pan­jang nan berliku yang dilakukan pe­merintah Indonesia selama bertahun-tahun terhadap Freeport Mc­Mo­ran Inc (FCX) dan Rio Tinto akhirnya mem­buahkan hasil. Indonesia melalui PT Inalum sebagai in­duk holding BU­MN melakukan pe­nan­­datanganan per­jan­jian awal (Head of Agreement/HoA) dengan Freeport McMoran Inc, PT Free­port Indonesia (PTFI), dan Rio Tinto.

Perjanjian awal ini merupakan pa­yung hukum yang mem­beri­kan ke­pas­tian bahwa Indonesia akan resmi me­ngam­bil alih saham PTFI hingga 51 per­sen. Penandatanganan ini pun se­ka­ligus sebagai langkah strategis un­tuk mewu­jud­kan kese­pakat­an peme­rin­tah dengan PTFI dan Freeport McMoran Inc tang­gal 27 Agustus 2017 lalu.

Menurut Menteri Keuangan, Sri Mu­lyani, kesepakatan pada 27 Agus­tus 2017 an­tara lain terkait landasan hu­kum yang men­­dasari bentuk Izin Usa­ha Pertam­bah­an Khusus (IUPK) untuk Freeport, di­vestasi saham 51 per­sen untuk ke­pe­mi­likan Indonesia, pembangunan smel­ter (fasilitas pen­go­lahan dan pemurnian) di dalam ne­geri, penerimaan negara le­bih besar dibandingkan rezim Kontrak Ka­rya, dan perpanjangan operasi 2 kali 10 tahun. (analisadaily.com, 13 Juli 2018)

Sementara untuk peningkatan peneri­maan negara sesuai pasal 169 UU No­mor 4 Tahun 2009 tentang Mi­ne­ral dan Batubara (Minerba), Ke­men­­keu sudah me­mastikan penge­naan tarif dan peneri­maan negara dalam bentuk IUPK, ter­masuk me­mas­tikan ketersediaan regulasi bagi se­mua investor dalam memberikan sta­­bilitas pembayaran kewajiban pe­ne­rimaan negara.

Langkah awal dan langkah maju

Sesuai dengan namanya, “perjan­jian awal (Head of Agreement/HoA)”, maka sejatinya HoA ini bukanlah bermakna Indonesia telah resmi memiliki 51 persen saham Freeport. Satu hal yang pasti, FCX masih menjadi pemegang saham ma­­yoritas dan Indonesia masih memiliki sa­ham 9,36 persen saja. Hanya saja, HoA ini merupakan langkah awal bagi Indo­ne­­sia untuk mengunci nilai pasti dari ren­cana kepemilikan saham hingga setara 51,38 persen.

Pihak Indonesia mengharapkan, pro­ses pembelian dan ke­pemilikan saham ini akan berlangsung dalam waktu yang tidak lama. Berangkat dari langkah awal ini, maka HoA akan bergerak menjadi langkah maju dalam rangka mewujud­kan kesepakatan tanggal 12 Januari 2018 dan tanggal 27 Agustus 2017.

Pokok-pokok kesepakatan pada tang­gal 12 Januari 2018 ber­langsung an­tara Pe­merintah Indonesia (Pusat), Pe­me­rintah Provinsi Papua, dan Pe­me­rin­tah Ka­bupaten Mimika, di mana pe­merintah dae­rah akan menda­pat­kan saham sebesar 10 per­sen dari kepemi­li­kan saham PTFI. Se­dangkan pokok-po­kok kesepakatan pada tanggal 27 Agus­tus 2017 yang ter­jadi antara PTFI dan FCX menye­pa­kati menge­nai pembentu­kan IUPK, divestasi sa­­ham 51 persen, pem­bangunan smel­ter, penerimaan ne­gara, dan perpan­ja­n­gan operasi.

Langkah maju tak hanya ada di pihak Indonesia, tetapi juga di pihak Amerika Serikat (FCX). Bagi FCX, HoA adalah tiket menuju kepastian usaha mereka untuk bisa beroperasi di Papua sampai 2041. Presiden Direktur Freeport Mc­Mo­ran Richard Adkerson mem­per­ki­rakan, bila proses operasi tambang ber­lan­jut sampai 2041 dan divestasi berjalan mu­lus, maka man­faat ekonomi yang akan didapat bagi pihak Indonesia tidak se­dikit. Manfaat langsung kepada pe­merintah pusat dan daerah, serta dividen ke­pada Inalum dapat melebihi US$ 60 miliar.

Divestasi saham hingga 51 persen tentu saja punya konsekuensi secara eko­nomi, salah satunya adalah potensi ke­un­tungan yang bakal diraih. Tapi, potensi ini harus ditebus dengan dana yang tidak sedikit. Inalum dan FCX sepakat meng­ambil skema divestasi 51 persen saham me­lalui hak partisi­pa­si (participating in­terest) perusa­ha­an tambang asal Ing­gris-Aus­tralia, Rio Tinto, pada tambang Gras­berg di Pa­pua milik PTFI.

Pemerintah Indonesia melalui hol­ding BUMN yang dipim­pin PT Inalum akan melaksanakan proses ini sehingga ke­pemilikan saham Inalum di PTFI ber­tam­bah dari semula hanya 9,36 per­sen menjadi sekitar 51,38 persen. Ina­lum harus mengeluarkan dana sebe­sar US$3,85 miliar untuk membeli 40 per­sen hak partisipasi Rio Tinto di tambang Gras­berg. Namun, skema divestasi 51 persen tak cukup hanya meng­am­bil 40 persen hak par­tisipasi Rio Tinto di tambang Gras­berg, Inalum pun harus mem­beli 100 ­persen saham FCX di PT In­do­cop­per Investama yang memiliki saham sebesar 9,36 persen di PTFI. Seba­nyak 81,28 persen saham PTFI dimi­liki oleh FCX. Sedangkan PT Indo­cop­per Investama Corp dan peme­rin­tah Indonesia masing-masing punya 9,36 persen.

Pemerintah Indonesia melalui Inalum menargetkan tran­saksi dana se­besar US$3,85 miliar itu bakal selesai dalam ku­run waktu dua bulan. Lalu dari mana duit­nya? Direktur Uta­ma Inalum, Budi Gu­nadi Sadikin me­nga­takan, ada 11 bank yang telah siap untuk ikut menda­nai proses divestasi saham tersebut. Bah­kan nilai pin­ja­man­nya disebut-sebut sudah menca­pai US$5,2 miliar setara dengan Rp74,88 triliun (kurs Rp14.400 per dollar AS). Posisi cash yang dimiliki Inalum dan holding minyak dan gas (migas) BUMN saat ini sekitar US$1,5 miliar. Untuk rincian pemba­ya­ran. Nantinya Rio Tinto akan me­nerima sebesar US$3,5 miliar (sekitar Rp 55 triliun) dan FCX se­besar US$350 juta (sekitar Rp 5 triliun).

Yang harus dilakukan

PT Inalum bersama Freeport McMo­ran Inc, PT Freeport In­donesia (PTFI), dan Rio Tinto sudah menye­pa­kati per­janjian pendahuluan (HoA) untuk me­nguasai 51 persen saham PTFI. Lalu apa yang harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia pasca­pen­an­datanganan HoA ini?

Langkah awal yang dapat dilaku­kan ada­lah menyepakati siapa peme­gang kon­trol di tambang pasca­di­ves­tasi. Pem­ben­tuk­an perusahaan joint venture tentu saja menjadi salah satu so­­lusi terbaik. Dalam joint venture per­lu dipertegas bahwa mes­kipun PTFI ingin ikut serta menjadi operator di tambang emas, hal tersebut da­pat dilakukan asal bukan sebagai opera­tor utama. Hal ini meng­ingat, Ina­lum sudah menjadi pemegang sa­­ham mayoritas.

Perlu diingat bahwa Kontrak Karya (KK) dan Undang-un­dang men­sya­rat­kan ka­lau Freeport dapat menga­ju­kan per­pan­jangan kontrak. Artinya, pe­me­rin­tah harus memastikan Free­port tetap dapat memper­panjang kontrak tam­bangnya di Indonesia dengan sis­tem Izin Usaha Pertambangan Khusus Ope­rasi Produksi (IUPK OP) dan tentu saja setelah meme­nuhi persya­ratan sesuai kesepaka­tan dalam HoA.

Perpanjangannya pun maksimal 20 ta­hun dan diperpanjang bukan per 20 ta­hun, bertahap per 10 tahun. Tujuan­nya, agar pemerintah dapat memasti­kan bah­wa Freeport beroperasi se­suai de­ngan ketentuan yang disyaratkan da­lam IUPK OP. Jika ada indikasi me­langgar aturan da­lam 10 tahun perpan­ja­­ng­an pertama, maka perpanjangan 10 tahun kedua da­pat diper­timbang­kan. Pemerintah Indo­ne­sia harus men­jaga, bahwa sistem kon­trak dengan IUPK ini jauh lebih meng­un­tungkan dan bermanfaat bagi Indone­sia khu­susnya, dibandingkan de­ngan sis­tem se­belumnya yakni Kontrak Karya (KK). Berda­sarkan dokumen PTFI, laba PTFI diproyeksikan mencapai US$2,02 miliar, atau sekitar Rp 28,28 triliun (menggunakan kurs Rp14.000/US$). Capaian ini meningkat nyaris 60 persen da­ri laba bersih PTFI pada tahun 2017 lalu yang sebesar US$1,28 miliar.

Hal penting lainnya yang harus dila­kukan pemerintah In­done­sia ada­lah memastikan, bahwa perpan­ja­ngan kon­trak kepada Freeport harus dilaku­kan de­ngan mempertimbangkan keber­lanjutan pe­ngelolaan lingkungan di area tambang (yang terdampak). Bukan isu baru, kalau per­soalan lingkungan men­jadi permasa­lahan cukup serius dalam perjalanan tam­­bang Freeport. Karena itulah, peran Ke­­menterian Lingkungan Hi­dup dan Ke­hu­tanan menjadi sangat penting dalam hal ini.

Dengan alasan kepentingan nasio­nal, kita semua berharap agar pelaksanaan HoA berakhir dengan mulus, yakni Pe­me­rintah Indonesia memiliki 51 persen saham Freeport. Lewat kepemilikan ini pun kita berharap bahwa Indonesia akan men­­da­patkan manfaat dan keuntungan yang jauh lebih besar dibandingkan selama lima dekade (50 tahun) ter­akhir. Dengan demikian, kesejah­te­raan bangsa dan rakyat Indonesia, ter­utama Papua se­bagai tanah tempat ber­dirinya peru­sa­haan tambang Free­port semakin mening­kat. ***