Setop Ekspor Nikel Disepakati, Saham Emiten Mineral Melejit!
Jakarta, CNBC Indonesia - Perseteruan perusahaan penambang nikel dan pengusaha smelter akhirnya mencapai titik temu dalam rapat tertutup di kantor Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Selasa malam (12/11/2019). Kedua belah pihak kini telah sepakat untuk menaati aturan larangan ekspor bijih nikel per 1 Januari 2020.
"Tolong kasih tahu ke penjuru dunia, penambang dan pengusaha smelter di Indonesia telah satukan tekad. Kami tidak mau ekspor ore [bijih nikel] per 1 Januari 2020," ujar Kepala BKPM Bahlil Lahadalia saat menggelar konferensi pers di kantornya, Selasa (12/11/2019).
Merespons informasi tersebut harga saham emiten penambang nikel langsung melesat pada hari ini, Rabu (13/11/2019). Di akhir perdagangan sesi I, harga saham PT Central Omega Resources Tbk (DKFT) melesat 8,14%. Kemudian disusul oleh PT Kapuas Prima Coal Tbk (ZINC) yang naik 4,02%, PT Vale Indonesia Tbk (INCO) menguat 2,35%, PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) naik 0,61%.
Selain kondusifnya sentimen dalam negeri, penguatan harga saham emiten tambang mineral ini juga seiring dengan ekspektasi pelaku pasar bahwa harga nikel kontrak berjangka di bursa London Metal Exchange (LME) ke depannya besar kemungkinan akan terus di atas US$ 14.000/metrik ton, bahkan bisa menyentuh level US$ 20.000/metrik ton.
Hal ini dikarenakan, Indonesia merupakan salah satu negara pengeskpor nikel terbesar di dunia yang menyumbang 26% pasokan bijih nikel global tahun lalu, berdasarkan data dari International Nickel Study Group, seperti diwartakan Reuters.
Lebih lanjut, Goldman Sachs sebelumnya memprediksi bahwa harga nikel di bursa LME dapat menyentuh level US$ 20.000 dalam 3 bulan ke depan, level yang tidak pernah dilihat sejak Mei 2014, dilansir dari Reuters.
Pelarangan ekspor oleh Indonesia akan menghapus sekitar 10% pasokan nikel dunia dan "menciptakan ketidakpastian pasokan yang substansial," tulis bank investasi tersebut dalam catatannya.
Dari grafik di atas terlihat bahwa harga nikel kontrak berjangka di bursa LME merangkak naik sejak awal Juli tahun ini, dan menyentuh harga tertingginya pada 9 September 2019. Kenaikan harga nikel tersebut juga tercermin pada performa penjualan emiten penambang bijih nikel dan feronikel Tanah Air.
Menilik laporan keuangan perusahaan, total pendapatan DKFT untuk produk nikel sepanjang 9 bulan pertama tahun ini meningkat 32,29% secara tahunan (year-on-year/YoY) menjadi Rp 467,45 miliar dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp 353,37 miliar. Asumsi kurs Rp 14.174/US$
Penjualan bijih nikel dan feronikel PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) juga naik 6,02% YoY menjadi Rp 6,1 triliun dari sebelumnya Rp 5,76 triliun.
Hanya PT Vale Indonesia Tbk (INCO) yang mencatatkan penjualan turun 12,62% YoY, dari Rp 8,22 triliun menjadi Rp 7,18 triliun pada periode 9 bulan pertama tahun ini dari periode yang sama tahun lalu.
Pemerintah Indonesia sebelumnya sempat menghentikan sementara ekspor bijih nikel pada akhir Oktober setelah terjadi pelanggaran.
Pasalnya, para penambang nikel menguras habis sumber nikelnya dan melakukan ekspor besar-besaran. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan ekspor bijih nikel per bulan saat ini bisa mencapai 100-130 kapal dari biasanya hanya 30 kapal per bulan, sehingga larangan ekspor sementara dibuat.
Lebih lanjut, sisa kuota ekspor bijih nikel yang tersedia hingga akhir tahun disetujui akan diserap oleh perusahaan smelter lokal dengan kisaran harga patokan mineral (HPM) US$ 27-US$30/metrik ton untuk kadar bijih nikel rentang 1,65%-1,7%.
Patokan harga nikel tersebut sesuai dengan skema penjualan harga free on board (FOB) China dikurangi transhipment dan pajak. Harga ini tidak akan berpengaruh dengan harga nikel dunia yang naik atau turun.
"Saat ini smelter mau menerima dengan kesepakatan kondisi ekspor dengan kadar 1,65 persen hingga 1,7 persen dengan harga minimal US$27 per ton hingga maksimal US$30 per ton. Ngapain kami ekspor, lebih baik dikirim ke lokal kalau harganya sama," ujar Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey, dikutip CNBC Indonesia.